Kamis, 10 Desember 2015

Sejarah Desa Mambal

Desa Mambal adalah sebuah Desa kuno yang telah ada pada abad ke 10, bila kita mengungkapkan sejarah Desa Mambal maka dapat kita lihat dari sumber-sumber sejarah berupa :

    Benda kuno lingga yoni
    Babad dalam, pamacongah dan babad mengwi
    Informasi dari Ida Bagus Ketut Kajeng, I Gusti Ngurah Rai

Sumber sejarah dari lingga yoni dilihat dari perkembangan lingga yoni sebagai perwujudan penghormatan terhadap dewa Siwa yang ditunjuk dalam prasasti Dinoyo tahun 759 Masehi. Dari perkembangan lingga yoni sebagai perwujudan penghormatan terhadap penghormatan Dewa Siwa berkembang sampai ke Bali yang bertebaran di tempat-tempat suci seperti puncak Penulisan. Sedangakan salaha satu lingga yoni terdapat pula di Wtungsut / Batungsut yang sekarang dapat di temukan di pura gunung rata di areal Pura Khayangan Desa lan Puseh Desa Adat Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupateb Badung sebagai perwujudan penghormatan terhadap Dewa Siwa dan berfungsi pula untuk permohonan keselamatan pertanian khususnya penghalau hama / merana.

Pada Zaman pemerintahabn dalam segining tahun 1580-1605 di Puri Gelgel Klungkung, Raja dibantu patihnya bernama I Gusti Agung Kaler, waktu pemerintahannya sering terjadi pemberontakan yang di lakukan oleh keluarga penatih, tetapi atas kepandaian I Gusti Agung Widia pemberontakan dapat diurungkan.

Sedangakan akibat sering terjadi kekalutan di Puri Gelgel Klungkung menyebabkan I Gusti Ngurah Mambal mengembara ke daerah rakyatn punta yakni di wilayah bernama Watungsut / Batuangsut.

 Pada Tahun 1343 ekspedisi Gajah Mada dari Majapahit yang di bantu oleh panglima perangnnya seperti Arya Kenceng, Arya Damar, Arya Belog, Arya Sentong, Arya Belontong, Tan Kober, Tan Kawur, dan Rakyan Punta. Setelah Bali dapt ditundukkan kecuali Arya Damar seluruh panglima perang majapahit di haruskan menetap di Bali untuk menjaga keamanan Pulau Bali. Rakyan punta menetap menjaga keamanan untuk daerah Batuangsut, sedangakn I Gusti Ngurah Mambal yang mengembara dari Gelgel Klungkung sampai di daerah Batuangsut bertemu dengan I Gusti Ayu Karang Putra dari rakyan Punta.

Mengingat tingkah laku dari I Gusti ngurah Mambal kepada rakyan punta baik, maka rakyan punta berkenan putrinya I Gusti Ayu Karang Putra dinikahkan oleh I Gusti Ngurah Mambal dan selanjutnya I Gusti Ngurah Mambal menetap di rumah mertuanya din Desa Batuangsut. Lama kelamaan I Gusti Ngurah Mambal menggantikan mertuannya sebagai penguasa di Desa Batuangsut sehingga Desa Batunagsut di ganti menjadi Desa Mambal sesuai nama penguasa yang memerintah desa tersebut.

Selanjutnya Perkembangan suatu Desa tidak terlepas dari perkembangan suatu desa tidak terlepas dari perkembangan penduduk sehingga Desa Mambal Berkembang dalam arti wilayah Desa diubah namanya dalam lingkup yang lebih kecil seperti :

    Semana
    Baturning
    Umahanyar
    Mekarbuana
    Kecamatan Abiansemal

Semua termasuk dalam Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang merupakan  Desa pemekaran dari Desa Mambal sejak tahun 1999.

Demikian perkembangan sejarah Desa Mambal secara singkat dari semenjak munculnya nama penguasa di Mambal sampai terbentuknya nama Desa Mambal

Dang Kahyangan Pura Gede Luhur Batu Ngaus


SULUHBALI.CO, Mangupura – Sepanjang pantai yang membentang dari pantai Kuta ke arah utara ke barat, begitu banyak ada pantai yang tak kalah menarik, dan eksotisnya dengan pantai Kuta. Misalnya ada pantai Seminyak, Brawa, Petitenget, Canggu dan pantai Mengening.  Pantai Mengening ini terletak di Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Badung. Meski tidak berpasir putih, tapi batu-batu karang yang berada di sepanjang pantai ini sangat indah. Termasuk keindahan sunset, saat matahari mulai tenggelam sore hari di ujung barat pantai.  Disamping itu sepanjang jalan menuju ke pantai Mengening ini, kita akan disuguhi suasana dan pemandangan sejuk dari hamparan sawah-sawah yang sangat luas di kiri kanan jalan.
Menariknya lagi, di pantai Mengening berdiri sebuah Pura Dang Kahyangan, Pura Gede Luhur Batu Ngaus. Pura ini berada diatas batu karang, di tengah laut. Kini dihubungkan dengan jalan yang permanen menuju Pura. Sepintas kita lihat mirip dengan Pura Tanah Lot, Kediri, Tabanan. Pura yang terbuat dari bahan batu hitam ini, juga dikelilingi karang-karang yang indah, dengan deburan ombak putih yang juga menambah pesona pantai ini. Lahan parkir juga tersedia luas dengan pagar dari batu hitam, dihiasi deretan patung-patung diatasnya. Di sebelah utara parkir, juga berdiri megah sebuah wantilan.
Mencari pantai ini juga tidak begitu sulit. Bila kita dari arah Canggu ke barat, sesampainya di pertigaan jalan raya Munggu-Tanah Lot, terpampang plang penunjuk jalan menuju ke pantai Mengening serta Desa Cemagi. Kita tinggal belok ke selatan, dari jalan raya tersebut ke pantai  jaraknya sekitar 4 km. Setelah melewati desa, kita akan disambut suasana sejuk persawahan yang terhampar luas. Dengan segala aktifitas para petani yang lagi menggarap lahan sawahnya. . Nampak sawah-sawah disana sangat subur sekali, petani sepertinya tidak kekurangan air. Kemudian di ujung jalan dekat pantai, sudah berdiri beberapa villa.
Tidak diketahui kenapa disebut pantai Mengening. Mungkin saja mengening dari kata ning dimaknai suci, hening, sepi, tenang. Sesuai dengan suasana pantai yang juga berdiri sebuah pura di tengah laut. Memberi  vibrasi kesucian, keheningan, ketenangan dan kedamaian. Tak salah karena kini menarik minta orang-orang untuk tinggal disana, di villa-villa sekitar pantai ini. Membayangkan sebelum ramai, sebelum berdiri bangunan dan beberapa villa. Tempat ini tentu sangat sepi, hening, tempat untuk menyepi (semedi) karena berada diujung selatan, dengan hamparan persawahan yang begitu luas sebelum mencapai pantai Mengening ini.  Meski kini pantai ini makin dikenal, makin ramai dikunjungi oleh warga lokal, wisatawan lokal maupun asing. Terutama sore hari, apalagi pas hari minggu atau hari-hari libur. Disamping indah, akses jalan menuju pantai ini juga sangat mudah dan dekat . Keheningan, kesucian pantai Mengening tetap masih terasa.

Senin, 30 November 2015

Pura Batur

Aham bhumim adadam aryaya.
aham vrsthim dasuse martyaya,
aham apo anayam vavasana
mama devaso anu ketam ayam.
(Rgveda IV.26.2).
Maksudnya: Aku anugerahkan bumi ini kepada orang yang mulia. Aku turunkan hujan yang bermanfaat bagi semua makhluk. Aku alirkan terus gemuruhnya air dan hukum alam yang patut pada kehendak-Ku.
Pura Besakih disebut Pura Purusa, sedangkan Pura Batur disebut Pura Pradana.
Di Pura Besakih, Tuhan dipuja untuk menguatkan jiwa kerohanian umat untuk mencapai kebahagiaan spiritual. Sedangkan di Pura Batur, Tuhan dipuja untuk menguatkan spiritual umat dalam membangun kemakmuran ekonomi.
Tenang secara rohani dan makmur secara ekonomi merupakan dambaan universal setiap umat manusia di dunia ini. Mengapa disebut Pura Purusa dan Predana. Hal ini diceritakan dalam Lontar Usana Bali. Dalam Lontar Usana Bali itu diceritakan secara mitologis bahwa Gunung Mahameru di India sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh maka hancurlah alam ini. Karena itu Sang Hyang Pasupati mengambil puncak Gunung Mahameru di India dengan kedua tangannya. Bongkahan Gunung Mahameru itu diterbangkan ke Bali. Bongkahan yang digenggam dengan tangan kanan beliau menjadi Gunung Agung. Sedangkan bongkahan pada tangan kiri beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung distanakan Sang Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Maha Dewa). Sedangkan di Gunung Batur distanakan Dewi Danuh. Dewi Danuh itu tidak lain adalah saktinya Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah Tuhan sebagai dewanya air untuk kemakmuran makhluk hidup.
Lontar yang menyebutkan keberadaan Pura Batur ini antara lain Lontar Usana Bali, Lontar Kusuma Dewa, Lontar Raja Purana Batur. Menurut lontar tersebut Pura Batur adalah Pura Sad Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Kahyangan Jagat adalah tempat pemujaan Tuhan bagi semua umat Hindu.
Dasar membangun kemakmuran dinyatakan dalam Bhagawad Gita adalah kris, goraksya dan vanjyam yang artinya pertanian, peternakan dan perdagangan. Kemakmuran tersebut tidak mungkin terwujud tanpa ada air. Dari airlah stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia mengembangkan kehidupannya.
Salah satu tujuan pendirian Sad Kahyangan itu untuk memotivasi umat manusia melestarikan Sad Kerti membangun kesejahteraan lahir batin. Danu Kerti dan Wana Kerti adalah dua dari enam unsur Sad Kerti. Air samudera menguap menjadi mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Air hujan yang turun tanpa ada tumbuh-tumbuhan akan bablas langsung ke laut.
Kalau ada tumbuh-tumbuhan sebagai hutan di lahan yang tinggi seperti bukit dan gunung maka air tersebut akan teresap dengan baik. Air yang diresap oleh hutan itu akan menjadi danau dan sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya. Demikianlah hukum alam ciptaan Tuhan.
Proses alam seperti itu harus dipelihara dan dijaga dengan baik oleh umat manusia dengan arif dan bijak. Air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata di bumi menurut Canakya Nitisastra. Kalau air dan tumtuh-tumbuhan tanpa dikelola dengan kata-kata bijak maka semuanya itu akan membawa bencana bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Memuja Tuhan sebagai Dewi Danuh, saktinya Dewa Wisnu untuk memelihara tegaknya eksistensi kata-kata bijak mengelola proses alam itu. Kalau proses alam tersebut dikelola dengan nafsu keserakahan justru akan membawa bencana bagi manusia. Perpaduan Pura Ulun Danu Batur, Gunung Batur, Danau Batur dan hutan di kawasan Kintamani merupakan keindahan yang amat memukau. Upacara keagamaan Hindu dan sembahyang di Pura Ulun Danu Batur itu hendaknya diarahkan untuk mencerahkan umat agar menjaga keindahan tersebut.
Keberadaan Pura Ulun Danu Batur di kawasan Kintamani itu harusnya dijadikan pusat penguatan jiwa untuk memotivasi umat dalam memelihara lestarinya perpaduan proses alam yang indah memukau.
Kawasan tersebut sebagai kawasan resapan air di Bali. Kalau kawasan tersebut rusak maka salah satu sumber untuk ajegnya alam Bali akan terancam. Jadi, bukan orang Kintamani dan Bangli saja yang rugi, tetapi Bali secara keseluruhan. Perhatian kepada Pura Ulun Danu Batur itu tidak boleh berhenti pada proses pemujaan dan upacara semata. Pemujaan umat ke Pura Ulun Danu Batur harus ditujukan untuk mendalami dan memahami nilai-nilai universal yang berada di balik Pura Ulun Danu Batur itu. Salah satu nilai universalnya adalah adanya amanat untuk menjaga kelestarian air dan hutan di Bali. Sesuai dengan Sarasamuscaya 135, lakukan Bhuta Hita (alam sejahtra) terlebih dahulu untuk menjamin tercapainya tujuan hidup dharma, artha dan kama di dunia sekala dan moksha di dunia niskala.
* Ketut Gobyah
Cuplikan Babad tentang Dewi Danuh dan Gunung Batur
Pura Batur yang lebih dikenal dengan Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut tepatnya di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di sebelah Timur jalan raya Denpasar-Singaraja.
Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi Gunung Batur dengan lava hitamnya serta Danau Batur yang membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan alam di sekeliling pura.
Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Karena letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan semuanya, termasuk pura ini kecuali sebuah pelinggih yang tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur ke tempat yang lebih tinggi yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa.
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di kaki Gunung itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah, 2.500 Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya pada kaki Pura. Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh Pura kecuali "Pelinggih" yang tertinggi, temapt pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air danau. Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih tinggi dan memulai tusag mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan bagian dari "sad kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang tercatat dalam lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur, mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut :
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya satu bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan" (Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Identifikasi dan Daya Tarik
Nama obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi yang ada yaitu Gunung Batur dan Danau Batur. Nama Pura Batur berasal dari nama Gunung Batur yang merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum meletusnya Gunung Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada di kaki sebelah Barat Daya Gunung Batur. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur ini, maka Pura bersama warga desa Batur dipindahkan di tempat sekarang. Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur tegak menjulang, Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu daya tarik bagi setiap pengunjung. Dari Penelokan dapat memandang birunya Danau Batur dan buih-buih ombak yang menepi menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang umum dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Para nelayan juga mewarnai kesibukan di Danau Batur mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya di jual di pasar Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya yang merupakan makanan ciri khas Kabupaten Bangli.
Lokasi
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata Kawasan Batur berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri dan dingin pada malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari Ibu Kota Bangli jaraknya 23 km. Obyek wisata ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan Besakih.
Fasilitas
Di obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran, penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil. Mengenai fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.
Kunjungan
Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan Mancanegara dan Nusantara. Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan, Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu Negara baik dari pusat maupun tamu dari luar negeri.
Deskripsi
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesmu Dewa. Lontar Usana Bali dan Lontar Raja Purana Batur. Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman Empu Kuturan yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan banyaknya pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura Batur adalah Penyiwi raja-raja yang berkuasa di Bali, sekaligus merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang diistanakan adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali yang terjemahannya sebagai berikut : Adalah ceritera, terjadi pada bulan Marga Sari (bulan ke V) waktu Kresna Paksa (Tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan Puncak Gunung Maha Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali digunakan sebagai sthana Putra beliau yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa) dan puncak gunung yang dibawa tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai sthana Betari Danuh, keduanya itulah sebagai ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur Purusa dan Pradana dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan tempat Pemujaan Umat Hindu di seluruh Bali khususnya Bali Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di bidang persawahan. Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning ke X (kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak, sedahan-sedahan datang ke Pura Batur menghaturkan "Suwinih". Demikian kalau terjadi bencana hama.
Dari Blandingan sampai Penglipuran
PURA Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli sebagai pura banuwa disembah oleh empat puluh lima desa di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya. Keempat puluh lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan upacara yang disebut atos. Pemuja ini terjadi karena perjalanan Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa di sekitarnya.
Dikisahkan, Ida Bhatara Indra memberikan putra kedua tirta yang disebut Mas Manik Mampeh yang menjadi aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa Songan, Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena diberi pesan oleh Bhatara Indra tak boleh dimanfaatkan oleh orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I Ratu Ayu Mas Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah putranya.
''Ibu hamba khawatir karena Ibu seorang putri tentunya akan banyak halangan, biarlah nanda yang menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir, ibu bisa menjaga diri,'' jawab Dewi Danu. Seketika Beliau berubah wujud menjadi seorang tua laki-laki yang sudah renta dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah nanda adakah yang akan mengetahui ibu?''
Demikianlah Beliau menuju arah timur laut, sampai pada sebuah dataran tinggi sambil memikul air dalam dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu, di sana beliau istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi tumpah waktu dipikul, Beliau mengeluarkan airnya, dan memancur dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama Tirta Mas Manik Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.
Perjalanan dilanjutkan dan Beliau tiba di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa ini, saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk Munti Gunung merasa jijik melihat Beliau yang pebuh kudisan dan baunya menusuk hidung sangat busuk. Lalu mereka berkata, ''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti pengemis, dan baumu sangat busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya juga busuk. Sana kamu pergi jangan di sini mengemis''.
''Oh kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual air, dan kamu telah menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian sangat sulit hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''. Begitulah, sampai saat ini penduduk Munti Gunung selalu meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis serta menjadi ''peminta-minta di jalan perempatan''.
Selanjutnya, Dewi Danu menjajakan air dari Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa pun tak ada yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan, serta mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari air.
Tiba di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada niat membeli air, saya menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan dua kepeng, namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan jalan menggadaikan sabit besar (tah). ''Nah Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, dan air ini berilah nama Toya Mampeh, dan tuan hendaknya menggantinya setiap tahun ke Batur''.
Sejak itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa beras, babi, ayam aduan (uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan permintaan dari Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula sebagai tempat buangan, Beliau menjual airnya dengan dua kepeng, serta dibayar dengan kerbau, dan selanjutnya, penduduk berminat membeli dengan tiga kepeng, karenanya beliau mengambil airnya sampai ke dasar labu, akibatnya kotoran labu dan jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk ''agar sumurnya dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.
Perjalanan menuju ke barat dan di Pantai Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga di sana ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan. Sampai di satu tempat dan semua airnya dituangkan serta dikutuk: ''semoga air ini tak bisa dijadikan air pertanian, dan air ini agar irit (inih) sehingga tempat itu menjadi Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.
***
DEWI Danu kemudian berganti rupa kembali menjadi seorang putri yang sangat cantik dan telah tiba di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu kecil dan berkata pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan apakah tuan mau membeli kerbau, saya menjual kerbau''. ''Ah ada-ada saja kamu mengatakan menjual kerbau, mana kerbaumu?'' ''Ini tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu yang saya jungjung,'' sahut Dewi Danu.
Mereka merasa ditipu, mana mungkin kerbau ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya dirampas, dan dilihat ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor, berkeliaran dalam bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor kerbau. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir kerbau tersebut, sehingga lari tunggang langgang melampaui beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan, Jinengdalem, Kerobokan, dan sekitarnya.
Setelah sore Dewi Danu memanggil kerbaunya, namun seekor yang paling besar dipotong oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur lantas mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, nanti semua desa yang bekas diinjak kerbauku harus membayar ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir ke Batur dengan kerbau hidup.'' Begitulah, Kubutambahan dan Bungkulan secara bergantian membayar kerbau ke Batur, dan semua desa yang dilewati beliau dan bekas injakan kerbaunya sebagai pemuja Pura Ulun Danur Batur.
Dewi Danu atau Ida Bhatari Batur kembali ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau berganti rupa menjadi gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada sabungan ayam di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau dalam hatinya berkata: ''Ah kenapa ada dagang gantal sangat cantik, kalau ini kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''. Dagang tersebut didekati: ''Putri cantik kiranya tak cocok berdagang, bagaimana kalau Anda saya ambil menjadi istriku''. ''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur. ''Ah mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida Bhatara Kehen. Lalu Bhatari Batur diperkosa.
''Hai tuan penguasa Kehen, kiranya tuan tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan memperkosa saya,'' tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau diperkosa, mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini Bhatari Batur. Tuan sangat sombong baru di tempatmu, sekarang semoga ada gunung yang membuang air Danau Batur agar tak sampai ke Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang gunung yang membujur dari barat ke timur menutup aliran air Danau Batur. ''Ah, kamu baru bisa begitu saja sudah sombong, aku juga bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen. Beliau lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi yang melubangi gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung tersebut dilubangi oleh belut besi dan kepiting besi yang saat ini tersimpan di Trunyan.
Akhirnya, Bhatari Batur kembali ke Batur. Namun sebelumnya mereka sama-sama mengutuk. ''Nanti jika Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata Bhatara Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga mengutuk semua orang Bangli yang memiliki genta, harus membayar denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.
Sampai kini kutukan tersebut tetap berlaku, dan karena gagal mempersunting Bhatari Batur, Bhatara Kehen mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.
* Jro Mangku I Ketut Riana

PURA TAMAN AYUN


Tiap hari raya seperti hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu berbondong-bondong ke Pura Taman Ayun. Sebagian besar di antara mereka memiliki tujuan piknik. Apalagi, di areal pura itu, memang diSediakan tempat untuk duduk-duduk, anak-anak bermain, dan memancing ikan.
Salah satu pura di Kabupaten Badung itu memang dilengkapi pertamanan yang asri. Pura ini dikelilingi kolam besar dengan ketersediaan air yang cukup. Di tepi kolam tumbuh berbagai pohon bunga, menambah indahnya suasana. Itulah Pura Taman Ayun. Pura ini terletak di Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, 18 km dari Kota Denpasar. Selain dikunjungi umat Hindu di saat hari raya, pura ini selalu ramai dikunjungi tamu mancanegara dan nusantara, karena merupakan salah satu objek wiaata.
Lokasinya berada di utara jalan, pada ketinggian antara 180 – 240 meter dari permukaan air laut. Untuk biaa sampai ke areal pura, pamedek mesti melewati jembatan kecil. Dari kejauhan tampak ujung­ujung atap bangunan meru bertumpang. Pelinggih meru itu merupakan pesimpangan sejumlah pura bestir di Bali. Jika dirunut akar katanya, “taman” berarti kolam atau kebun bunga, sedangkan “ayun” berarti “kehendak” atau “indah”. Itu berarti secara harafiah, Taman Ayun berarti taman yang indah atau taman yang dapat memberikan apa yang dikehendaki sebagai pembangkit rasa keindahan.
Kapan pura ini dibangun? Menurut Babad Mengwi, Pura Taman Ayun dibangun oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan selesai dipelapas pada tahun 1634 M. Arsitektur bangunan pura ini dibuat oleh rekan Raja Mengwi, seorang keturunan Cina dari Banyuwangi bernama Ing Khang Ghhoew, yang lumrah diaebut I Kaco.
Sebelum bertutur lebih lanjut, rupanya tidak ada salahnya jika kita menengok masa silam, sebelum berdirinya pura yang sering dikunjungi wiaatawan ini.
Sejarah pura ini sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Mengwi. Nama lain kerajaan Mengwi adalah Mangapura, Mangarajia dan Kawiyapura. Proses perjalanan sejarah kerajaan Mengwi, sangat panjang dan berbagai macam pengalaman telah dialaminya sebagai kerajaan yang sangat besar. Secara garia-garia besar perjalanan sejarah Kerajaan Mengwi khususnya yang menyangkut Pura Taman Ayun, kita biaa tuturkan sebagai berikut:
I Gusti Agung Maruti Meninggalkan Gelgel
Pada hari Selasa Paing, Wuku Bala, I Gusti Agung Maruti atau I Gusti Agung Dimadhe meninggalkan Gelgel, Klungkung, di mana pada saat itu Dalem Klungkung yang bernama Sri Anom Pahmayun Dimade alias Dalem Dimade sedang berada di Guliang Klungkung.I Gusti Agung Maruti adalah keturunan Arya Kresna Kepakiaan. Dengan diiringi oleh putra-putrinya dan rakyat sekitar 1.800 orang, serta I Gusti Kaler Pacekan, beliau melakukan perjalanan menuju arah barat daya dari Gelgel menuju hutan Jimbaran. Di sana I Gusti Maruti mengerahkan rakyat merabas hutan untuk puri dan perumahan rakyat. Kemudian pada Icaka 1485 (1563 M), beliau membuat kahyangan sebuah meru bertingkat sebelas untuk kedudukan Bathara Maspahit demi kemakmuran.
Entah berapa lama berpuri di Jimbaran, beliau meninggalkan tempat itu, karena berseliaih paham dengan I Gusti Kaler Pacekan. I’erseliaihan itu terjadi, konon karena diambilnya kedua keria beliau (Keria Kepatihan I Panglipur dan I Sekar Gadung) dan berhasil iiienghasut rakyat agar berontak terhadap tuannya.
I Gusti Agung Maruti bergerak ke arah utara. Dengan diiringi putra­putrinya, beliau menuju Negara Nambangan Badung dan berjumpa dengan Kiyayi Tegeh Kori. Beliau diaarankan agar datang ke Negara Kapal untuk menemui Pangeran Kapal. Ki Namblang ditugaskan untuk mengantarkan I Gusti Agung Maruti. Maka bergeraklah beliau dengan ketiga putra-putri beliau I Gusti Agung Putu, I Gusti Agung Ayu Made, I Gusti Agung Anom dengan beberapa pengikut yang setia diantarkan oleh Ki Namblang.
Di Negara Kapal, I Gusti Agung Maruti dan pengikutnya diterima dengan baik oleh Pangeran Kapal. Beliau bersama putra-putrinya dan Ki Namblang tinggal di Kapal beberapa lama.
Kemudian tatkala meletus perang antara Negara Kapal dan Negara Beringkit, I Gusti Agung Maruti membela Kapal. Sedangkan Negara Beringkit dibantu I Gusti Kaler Pacekan. Gusti Kaler berjanji, jika menang dalam pertempuran, sebagai tanda persaudaraan, beliau akan menyerahkan Negara Kapal. Namun dalam pertempuran itu, I Gusti Agung Maruti tidak tahan melawan Keria Kepatihan. Keria itu miliknya sendiri yang dirampas oleh I Gusti Kaler Pacekan. Oleh karena kewalahan, I Gusti Agung Maruti meninggalkan Desa/Negara Kapal dengan diiringi putra-putrinya dan Ki Namblang. Beliau berlari ke arah timur menuju Desa Ranekkan dan mendirikan perkampungan di hutan yang bersinar bagaikan emas. Oleh karena itu, tempat itu dinamakan Kuwumas (kuwu = rumah) yang lama-lama diaebutkan Kuramas. Pada hutan yang gemerlap itu, lalu ditemukan sebuah perhiyangan. I Gusti Agung Maruti selanjutnya mengadakan renovasi dan diupacarai sebagaimana mestinya. Pura itu kemudian diberi nama Pura Mas Ceti.
Dewata Agung kemudian menganugerahi I Gusti Agung Maruti berupa pusaka ampuh bernama       I Bintang Kukus. Sejak itu, Desa Kuramas semakin maju. Rakyatnya semakin hidup sejahtera. Kesejahteraan Kuramas didengar oleh I Gusti Kaler Pacekan. Lalu ia menyiapkan bala tentaranya menyerang I Gusti Agung Maruti. Dalarn perang yang berlangsung seru. I Gusti Kaler Pacekan tidak mampu melawan pusaka I Bintang Kukus dan selan_jutnya kembali ke Beringkit. I Gusti Agung Maruti ternyata tidak hanya dapat mengalahkan Gusti Kaler Pacekan, tapi juga dapat merebut kembali
kedua keria pusakanya. Itulah sebabnya, semangat Maruti bangkit menggebu. Beliau lalu memburu I Gusti Kaler Pacekan dan menikamnya dengan keria. Gusti Kaler meninggal di Bukit Pegat.
Setelah aman tentrarn keadaannya, daerah Kapal dan Beringkit diaerahkan kepada putra bungsu I Gusti Agung Anom. Untuk mengemban tugas negara, putranya itu dibekali keria pusaka bernama I Panglipur. Sedangkan I Gusti Agung Maruti kembali ke Kuramas.
Setelah memegang Negara Kapal. I Gusti Agung Anom bergelar I Gusti Agung Made Agung. Cukup lama beliau berada di Kapal, namun tidak menurunkan putra. Olch karena itu, beliau seringkali bersembahyang dan meditasi (yoga) bersama iatrinya Gusti Luh Bengkel (putri dari Kriyan Bebengan) di Pura Sada. Kapal untuk memohon agar diberkahi seorang putra laki-laki. Atas asung kerta wara nugraha Ida Bhatara di Pura Sada Kapal, lahirlah seorang putra laki-laki diberi nama I Gusti Agung Putu. Adapun Ki Namblang juga mempunyai seorang putra yang diberi nama Ki Kedua alias I Gusti Made Serangan.
Suka dan duka rupanya memang selalu berdampingan. Beberapa lama kemudian, ada prang yang tidak senang terhadap I Gusti Agung Anom. Salah satunya adalah I Gusti Ngurah Batutumpeng yang menguasai daerah Kekeran. Oleh karena memang ada benih-benih permusuhan, maka sedikit saja ada masalah akan menjadi besar. Begitulah yang terjadi. Oleh karena sesuatu hat, maka terjadilah perkelahian antara I Gusti Agung Putu dan I Gusti Batutumpeng dengan para pengikutnya. Dalam peperangan itu, I Gusti Agung Putu kepayahan akibat dikeroyok. Agung Putu lalu jatuh di tanah tiada sadarkan diri. Rakyat Kekeran yang melihat keadaan I Gusti Agung Putu demikian, mengira sudah tewas. Pada saat itulah datang Ki Kedua dari Desa Kapal yang serta merta memberi pertolongan menutupi tubuh I Gusti Agung Putu dengan daun Liligundi. Ki Kedua memang mempunyai hubungan kwangi dengan I Gusti Agung Putu dari perkawinan kakeknya asal Badung. Mengetahui hat ini dengan cepat I Gusti Agung Putu menitipkan keria pusakanya yang bernama I
Panglipur agar diaembunyikan Ki Kedua. I Gusti Agung Putu berpesan bahwa keria pusaka itu dilarang diberikan kepada siapapun kecuali diminta Iangsung oleh beliau sendiri.
Dalam keadaan tersiksa, I Gusti Agung Putu dihaturkan oleh 1 Gusti Ngurah Batutumpeng ke hadapan Raja Tabanan. Sementara itu di Puri Tabanan, raja sedang menerima.1 Gusti Gede Bebalang dari Puri Marga. Setelah melihat keadaan I Gusti Agung Putu yang menderita. Gede Bebalang merasa kasihan. Lalu ia memohon ke hadapan Raja Tabanan agar diperkenankan meminta I Gusti Agung Putu untuk diajak ke Puri Marga agar dapat menemani adiknya yang bernama I Gust] Nyoman Celuk. Raja Tabanan mengabulkan permintaan itu. Tapi pesan raja, agar berhati-hati karena I Gusti Agung Putu dianggap sangat berbahaya ibarat “panak macan” (anak harimau). Walaupun demikian I Gusti Gede Bebalang tetap meminta karena kasihan melihat keadaan I Gusti Agung Putu tersiksa. Berselang beberapa bulan kemudian, I Gusti Agung Putu dengan diaertai I Gusti Celuk dan 200 orang, minta izin kepada I Gusti Gede Bebalang akan merabas hutan di sebelah selatan Desa Marga untuk perumahan rakyat dan purl. Kawasan dan purl itu kemudian diberi nama Bala Ayu. Lambat laun, kata Bala Ayu kemudian menjadi Belayu.
Menghimpun Kekuatan
Lambat namun pasti, I Gusti Agung Putu mulai menghimpun kekuatannya kembali dari Desa Belayu. Beliau juga membentuk satuan-satuan pemuda pilihan sebanyak 40 orang yang terlatih. Tujuannya, yakni menyerang kembali I Gusti Ngurah Batutumpeng. Pada hari yang ditentukan, saat yang dianggap tepat, I Gusti Agung Putu berangkat bersama Anglurth Weratmara, I Gusti Celuk dan rakyat dengan persenjataan seadanya menyerang I Gusti Ngurah Batutumpeng.
Dalam pertempuran yang seru, I Gusti Ngurah Batutumpeng herhasil dibunuh. Sanak keluarganya yang masih hidup melarikan diri menuju Desa Kerambitan. Setelah I Gusti Ngurah Batutumpeng gugur, daerah Kekeran menjadi kekuasaan I Gusti Agung Putu lagi.
Sebelumnya I Gusti Ngurah Pupuan, I Gusti Ngurah Beringkit, dan I Gusti Ngurah Penarungan menaklukkan diri menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Batutumpeng. Dengan demikian, maka wilayahnya kini otomatia menjadi wilayah di bawah kekuasaan I Gusti Agung Putu. Dalam periode ini, I Gusti Agung Putu melakukan musyawarah dengan I Gusti Nyoman Celuk dari Puri Marga. Agung Putu mohon pamitan dari Belayu untuk pindah ke wilayah bekas kekuasaan Gusti Ngurah Mengwi. Beliau lalu beserta keluarganya membangun Puri di Bekak yang diaebut Keraton Puri Kaleran. Selanjutnya beliau membuat tetamanan yang berlokasi di sebelah barat Puri Bekak yang dinamakan Taman Ganter. Kata Ganter di sini diberi anti “yang sungguh menakjubkan” atau “mempesona”.
Keraton Puri Kaleran dibangun pada tahun 1627 Masehi/lcaka
1549. Semenjak itulah I Gusti Agung Putu memanfaatkan Taman Ganter sebagai tempat untuk mencuci senjata-senjata Pusaka Puri. Taman Ganter dipelihara dengan baik untuk melengkapi keindahan
Keraton Puri.
Adapun Ki Kedua (I Gusti Made Serangan) dititahkan pindah dari Kapal. Beliau membuat rumah berdekatan dengan Puri Kaleran yang diberi nama Jeroan Serangan. Kakak perempuannya yang bernama Ni Alangkajeng dijadikan iatri oleh I Gusti Agung Putu.
Beberapa lama kemudian, tenjadi perang tanding antara I Gusti Agung Putu melawan Pasek Badak yang menguasai Desa Buduk. Pasek Badak terkenal sakti dan tidak mempan berbagai senjata. Namun dalam perang tanding itu, Pasek Badak harus menyerah setelah melihat Pedang Pusaka I Naga Keras. Sebelum Pasek Badak menghembuskan napasnya terakhir, ia minta agar ada salah seorang putra I Gusti Agung Putu menyembah arwah Ki Pasek Badak kelak dikemudian hari. I Gusti Putu mengabulkan permintaan itu. Namun putra yang akan menyembahnya tidak keturunan asli, melainkan putra yang diangkat dengan upacara. Dalam cerita yang dipentaskan oleh Topeng Primbon Carangsari (Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia, orang yang diangkat sebagai putra itu berjumlah 40 orang. Mereka itu dari keturunan Brahmana 10, Kesatria 10 orang, Wesia 10 orang dan Sudra 10 orang. Mereka itu juga akan menjadi tabeng wijang (penjaga) puri yang kebal dengan senjata tajam. Setelah Pasek Badak gugur, ia dibuatkan sebuah Gedong Sari Meru tumpang satu serta diempon oleh 40 orang putra angkat dari catur warna yang selanjutnya dianugrahi nama Ki Baladika Batabatu. Selanjutnya setelah Penebel dikuasai oleh I Gusti Agung Putu, beliau meluaskan lagi wilayahnya ke bagian timur. Di bawah pimpinan I Gusti Gede Bebalang beserta adiknya I Gusti Nyoman Celuk dari Belayu, mereka menyerang serta menguasai wilayah I Gusti Agung Sukawati, I Gusti Agung Cau dan Gusti Agung Ketut Agung di Goam. Dengan demikian batas kekuatan Mengwi sampai sebelah barat Petanu, batas selatan Uluwatu dan batas utara Gunung Mangu/Beratan yang juga diaebut Gunung Pengelengan.
Beberapa lama kemudian, I Gusti Bebalang melaporkan bahwa yang berkuasa di Ler Gunung amat berwibawa, bergelar I Gusti Ngurah Panji Sakti. Beliau mempunyai putra bernama I Gusti Panji Wayahan. Merasa berwibawa yang diaegani baik kawan maupun lawan. I Gusti Panji Wayahan, telah berani menyabot daerah kekuasaan I Gusti Agung Putu di Pegunungan Utara. Apa lagi ia merasa sangat kuat dengan memiliki perwira-perwira tet•una yang diaebut Guwak sebanyak 100 orang. Para perwira itu sudah tersohor ketangguhannya dalam peperangan yang dipimpin oleh Ki Macan Gading.
Maka atas laporan tersehut I Gusti Agung Putu menitahkan untuk menyerang Kerajaan Buleleng. sekaligus menguji ketangguhan Ki Batabatu. Penyerbuan itu dipimpin oleh Gusti Bebalang. Scdangkan penyerangan dari Desa Gitgit dipimpin oleh I Gusti Celuk. Sementara itu I Gusti Agung Putu yang juga dijuluki I Gusti Agung Sakti membantu dari belakang.
Penyerbuan itu cukup menakjubkan. I Gusti Panji Wayahan kewalahan menghadapi pasukan Trio ini. la lalu melapor kepada Ayahnda Raja Buleleng yang herkedudukan di Puri Sukasada. Mendengar laporan itu. Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti mengatur strategi, yaitu berpura-pura tidak mengetahui bahwa dirinya­ diaerang oleh Mengwi. Bahkan sebaliknya ia menurunkan gadia-gadia cantik dan masing-masing membawa setangkai bunga untuk menjemput kedatangan I Gusti Agung Putu sebagaimana halnya menjemput raja agung.
Oleh karena diperlakuan seperti itu, I Gusti Agung Putu menjadi sangat gembira. Bahkan beliau lupa dengan rencana penyerbuan semula. Sikap beliau berubah: dari permusuhan menjadi persaudaraan. Lebih-lebih beliau dipersembahkan hadiah, yakni seorang gadia cantik. Gadia itu bukan dari keturunan sembarang, melainkan putri Raja Buleleng sendiri yang bernama I Gusti Ayu Panji. I Gusti Ayu Panji pun diboyong ke Keraton Puri Mengwi.
Dalam perjalananan ini, I Gusti Ayu Panji diiringi oleh 225 orang dari berbagai keturunan wangsa yang menjadi prajurit andalan Buleleng. Selain itu, I Gusti Ayu Panji membawa wilayah kekuasaan Raja Buleleng yang dihadiahkan kepada I Gusti Agung Putu antara lain wilayah kekuasaan di Blambangan Jawa Timur, dan wilayah Jembrana.
Upacara perkawinan dilangsungkan di Puri Kaleran Mengwi dengan meriah. Dalam menjalankan pemerintahan, I Gusti Agung Putu menyusun strategi penyebaran putra-putranya yang dibantu oleh para manca (setingkat camat) yang dapat dipercaya. Putranya yakni I Gusti Agung Made Banyuning, yang beribu I Gusti Ayu Toya Anyar (keturunan Gajah Para) dititahkan memegang wilayah Sayan. I Gusti Agung Kamasan diberi kekuasaan memegang wilayah Sibang Serijati. Untuk wilayah Munggu, pemerintahan diaerahkan kepada I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng.
Untuk wilayah bagian tengah dari timur ke utara, pemerintahan dipercayakan kepada I Gusti Agung Putu Pacung di Singasari Blahkiuh. Sedangkan wilayah Penarungan diaerahkan kepada I Gusti Agung Wayahan. Lalu, I Gusti Agung Ketut Buleleng diberi kekuasaan untuk memerintah Kapal Muncan. Adapun I Gusti Agung Lebah diberi kekuasaan di Kapal Kanginan.
Pada masa periode ini, I Gusti Agung Putu berhasil menewaskan Ki Balian Batur yang diutus oleh Betari di Batur. Ki Balian Batur diutus untuk menggagalkan hasrat Mengwi menyerang Klungkung. Sebagai tanda kemenangan ini, I Gusti Agung Putu lalu membuat pura di Desa Rangkan yang diberi nama Pura Uriakusuma. Pada sebelah timur pura itu dibangun puri, dinamakan Puri Kanginan. Oleh karena pura itu letaknya berdampingan dengan puri, namanya kemudian diganti bemama Pura Penataran Dalem Agung. Sewaktu upacara di pura ini, Sri Maha Sirikan, diiringi oleh Natheng Mangapura, para manca, punggawa dan rakyat, melakukan
persembahyangan bersama.
Hubungan Bhagawanta dengan Mengwiraja
I Gusti Agung Maruti waktu berada di Kuramas Gianyar, memohon ke hadapan Brahmana Geria Sindhu dan Pidada Sidemen Karangasem agar mengizinkan salah satu keturunannya sebagai patirtan beliau beserta keturunannya. Dalam keputusan pangliair di Geria Sindhu dan Pidada Karangasem, Ida Putu Sidemen yang mebhiaeka Ida Pedanda Kompiyang Pemaron kelahiran Geria Mandharawati Sidemen ditugaskan untuk berangkat dan agar menetap di mana adanya keturunan I Gusti Agung Maruti. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah sentana Ida Diata mabhiaeka Ida Pedanda Wayahan Kekeran kelahiran Geria Rai Kaba-Kaba. Ketika masih walaka minggat ke Desa Sidemen dan membangun Geria Mandharawati Sidemen. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah cucu dari Ida Pedanda Wayahan Kekeran dan bersaudara kandung Ida Pedanda Kawiaunia yang membangun Geria Kawiaunia Kaba-Kaba.
Setelah tatap muka dengan I Gusti Agung Putu. Ida Pedanda Kompyang Pemaron dihaturkan tempat pasraman di Desa Munggu yang diaebut Geria Sidemen. Semenjak itulah Brahmana Geria Sidemen Munggu merupakan penasihat spiritual dan keagamaan Kerajaan Mengwi Raja. Namun belum ditetapkan secara resmi sebagai bagavanta karena I Gusti Agung Putu belum melaksanakan upacara
Mapodgala Raja.
Membangun Taman Ayun
Semenjak perkawinan I Gusti Agung Putu dengan putri raja Buleleng I Gusti Ayu Panji, Keraton Puri Kaleran dipindahkan lokasinya yakni bergeser ke Selatan Puri Kaleran yang diberi nama Keraton Puri Kawiyapura. Selanjutnya I Gusti Agung Putu beserta keluarga menetap di Puri Kawiyapura yang juga berdekatan dengan Taman Ganter. Oleh karena itu Taman Ganter tetap ditata dan diperindah agar kelihatan sebagai Hyang Hyangning ukir nan indah.
Adapun pemindahan puri itu adalah atas petunjuk dan saran-sa­ran Ida Pedanda Gede Kekeran (Geria Kekeran Mengwi Tani) bersama Ida Pedanda Kompyang Pemaron (Geria Sidemen Munggu). Mengapa dipindahkan, karena di Puri Kaleran pernah adanya ceceran darah Pasek Badak waktu perang tanding dengan I Gusti Agung Putu. Adanya ceceran darah itu menimbulkan vibrasi buruk yang diaebut Kecamahan dan Kelebon Amuk. Keadaan seperti itu, tidak baik bagi keturunan yang menempatinya, karena biaa memakan korban secara berkesinambungan.
Setelah I Gusti Agung Putu merenungkan petuah-petuah itu. beliau mendapat inspirasi baru. Beliau memilih suatu tempat yang dipandang memenuhhi syarat untuk membangun sebuah taman yang Iebih luas dan strategia letaknya. Pembangunan tetanaman yang lebih luas berlokasi di atas dataran yang agak tinggi, yang kemudian dinamakan Taman Ayun. Taman berarti kolam atau kebun bunga dan avun berarti kehendak atau indah. Dengan demikian. Taman Ayun berarti taman yang indah atau taman yang dapat memberikan apa yang dikehendaki sebagai pembangkit rasa keindahan.
Pura Taman Ganter dipindah ke Pura Taman Ayun pada tahun 1413 M. Menurut Babad Mengwi Pura Taman Ayun dibuat oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan selesai/dipelapas pada tahun 1634 M, termuat dalam Babad Mengwi dengan Candra Sengkala “sad bhuta Yak sa Dewa” yang nilai angkanya 1566 atau 1634 M.
Adapun sebagai arsitek pembangunan Pura Taman Ayun dibuat oleh rekan beliau yakni seorang Cina dari Banyuwangi yang bernama Ing Khang Ghhoew. Arsitek ini juga Iumrah dipanggil I Kaco.
Struktur Pura
Struktur Pura Taman Ayun terdiri dari Utama Mandala Gedong Pedarman Puri dan dilengkapi dengan Iata Dewata lainnya sebagai persimpangan atau Penvawangan dari beberapa Pura Kahyangan Jagat di Bali termasuk pembangunan untuk memuja Ida DanaHyang Dwijendra yang lebih dikenal di Bali Ida Pedanda Saktu Wawu Rauh. Untuk memuja para leluhur raja, kita biaa melakukan di Gedong Pedarman Paibon. Pada bagian Madya dan Niata Mandala dibangun candi bentar atau diaebut Apt Surang sedangkan pada Utama Mandala dilengkapi dengan sebuah Kori Agung diaebut Paduraksa.
Raja I Kerajaan Mengwi, Mangarajia, Mangapura, Kawiyapura
Setelah Pura Taman Ayun rampung dan diplaspas (diaucikan), maka atas kehendak rakyat Mangarajia menetapkan I Gusti Agung Putu menjadi raja yang pertama di Kerajaan Mengwi sebagai mangkuta dengan terlebih dahulu melaksanakan upacara Mapodgala sesuai swadarmaning negara kerajaan. Untuk mencapai tujuan itu I Gusti Agung Putu mengadakan paruman yang dihadiri oleh segenap warga purl, para walaka dan sulinggih serta para manggala kerajaan. Paruman dipimpin oleh Ida Pedanda Kompyang Pemaron dari Geria Sideman Munggu. Di dalam pertemuan itu, Ida Pedanda memperkenalkan diri hahwa beliau adalah brahmana dari Geria Mandarawati Sidemen, Karangasem dan kini berada di Geria Sidemen Munggu untuk mendampingi Raja Mengwi. Dalam paruman itu ada brahmana dari Batan Poh Buduk tidak hadir karena ajajuden (tajen) sehingga oleh paruman diputuskan untuk dipersonagratakan dari sidikara sesana kebrahmanan dan dianggap tidak patuh terhadap kehendak Raja Mengwi. Paruman juga memutuskan menetapkan I Gusti Agung Putu melakukan upacara mapodgala bertempat di Pura Taman Ayun dengan kedudukan Raja I di Keraton Puri Kawiyapura. Karena berdekatan dengan Pura Bekak yang baru diaebut Pun Bekak, upacara inapodgala dilakukan bertempat di Pura Taman Ayun. Upacara dipuput oleh sang para guru loka sewilayah Mangarajia sebagai wikusaksi. Sebagai pimpinan upacara adalah Ida Pedanda Gede Kekeran Geria Kekeran Mengwi Tani dan Ida Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu. Ida Pedanda Gede Alangkajeng Geria Taman Intaran Sanur juga merupakan menantu dari I Gusti Agung Putu, dan masih satu lalintian (keluarga) dengan brahmana Munggu.
Setelah melaksanakan upacara mapodgala, secara resmi I Gusti Agung Putu berganti nama menjadi I Gusti Ngurah Made Agung alias I Gusti Agung Ngurah Made Agung alias I Gusti Agung Sakti, dengan bhiaeka Ida Tjokorde Sakti Blambangan. Semenjak itu pula secara resmi Ida Tjokorde Sakti Blambangan mengangkat serta menetapkan dua bhagawanta (penasihat spiritual iatana) yaitu Ida Pedanda Gede Kekeran Mengwitani dan Ida Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu yang merupakan bhagawanta I Kerajaan Mengwi.
Adapun leluhur Ida Pedanda Gede Kekeran adalah dari Kayu Putih Buleleng turut datang dan menetap di Mengwi waktu mengikuti perkawinan I Gusti Ayu Panji. Oleh Raja I Ida Tjokorda Sakti Blambangan leluhur beliau ditempatkan di Kekeran Mengwitani, Werdi Sentana Mangun Geria Den Kayu, Geria Bun, Geria Lanang dan Geria Kekeran Blahbatuh Gianyar.
Pura Taman Ayun bersifat geneologia atau pemujaan terhadap leluhur. Namun pura ini dilengkapi periimpangan beberapa pura besar di Bali. Artinya kalau memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya yang berstana di sejumlah pura di Bali, biaa dilakukan di tempat ini.
Mengapa pura ini dibangun? Menurut sumber, tujuan raja Cokorda Sakti Blambangan mendirikan parahyangan di Taman Ayun adalah agar seluruh keluarga kerajaan beserta rakyat sewilayah Mengwi dapat menghaturkan persembahyangan, memohon restu untuk keselamatan serta kesejahteraan. Keberadaan pura ini erat kaitannya dengan berdirinya kerajaan Mengwi pada tahun 1627 masehi atau 1549 caka.
Jalan Khusus
Untuk mengetahui keberadaan fiaik bangunan pura, para turia dibuatkan jalan khusus mengelilingi areal utama mandala. Pura ini dikelilingi kolam besar, sehingga dari kejauhan, pura ini seolah-olah terapung. Areal pura ini luasnya mencapai empat hektar, ditumbuhi berbagai macam bunga dan pohon buah-buahan. Memang, dulu pura ini merupakan pertamanan tempat beriatirahat.
Pura ini sempat mengalami kerusakan akibat terjadi gempa besar pada Sabtu, 20 Januari 1917. Banyak bangunan yang rusak parah (Ian ringan. Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat perbaikan secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang terlihat sekarang.
Piodalan atau pujawali di pura ini jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia, setiap 210 hari sekali. Pengemponnya adalah keluarga Puri Gede Mengwi. Seperti telah dikemukakan, pura ini pada dasarnya pura paibon atau pedarman keluarga Raja Mengwi untuk memuja para roh leluhur yang diwujudkan dengan dibangunnya sebuah gedong paibon. Namun, di pura ini terdapat sejumlah pelinggih pesimpangan pura-pura besar di Bali seperti Pesimpangan Batukaru (meru tumpang 11), Pesimpangan Sakenan (meru tumpang 11), pelinggih Pura Pucak Padangdawa, pelinggih untuk memuja Ida Dang Hyang Dwijendra.
Di sana juga berdiri candi Pura Sada, Pesimpangan Batur (meru tumpang 9), pesimpangan Gunung Agung (meru tumpang 11), Pesimpangan Beratan (meru tumpang 9), Pesimpangan Maspahit (meru tumpang 7), Pesimpangan Batuangus (meru tumpang 5), Pesimpangan Pesurungan (meru tumpang 3). Di samping itu juga terdapat pelinggih Pasek Badak yang diaungsung oleh segenap bala putra teruna bata-batu (prajurit kerajaan).
Tentang Pasek Badak, kiaahnya cukup menarik ketika dipentaskan dalam dramatari Topeng Perimbon oleh Topeng Carangsari (Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia.
Ada satu cerita menuturkan, Pasek Badak diundang oleh raja Mengwi untuk datang ke puri. Setelah berbasa-basi sebentar, ternyata Pasek Badak diundang mengadu laga, karena raja Mengwi ingin memperluas wilayah sampai ke Buduk, tempat Pasek Badak berkuasa. Akan tetapi raja Mengwi tak mampu membunuh Pasek Badak dengan berbagai senjata. Namun ada satu senjata sakti, milik kerajaan yang menyebabkan Pasek Badak menyerah yakni senjata bernama Naga Keras. Pasek Badak rela gugur dengan sejata itu, karena ia yakin akan mendapat moksha berkat pusaka itu. Akan tetapi, ada permintaan Pasek Badak kepada raja, yakni, agar pelinggihnya itu diaungsung oleh putra raja. Raja kemudian mengangkat 40 orang sebagai putra peperasan (anak angkat) yang terdiri dari empat golongan: yakni Brahmana, Kesatria. Wesia dan Sudra, masing-rnasing 10 orang. Semua penyungsung itu kemudian akan menjadi kebal dan menjadi tabeng wijang (prajurit) kerajaan Mengwi.
Bangunan lainnya yang juga terdapat di sana adalah Bale Murda. Gedong Pengangge, Gedong Sari Bhatara Tengah Segara, padmasana Bhatara Surya, Bale Pawedan, Bale Papelik Saka Anda, Gedong Alit Pura Bekak, piyasan, sambiangan dan sebagainya.
Di utama mandala dibangun kori agung (paduraksa). Di tnadva mandala dan viata mandala dibangun candi bentar atau apit surang. Pada siai baratnya terdapat permandian umum dan di bagian atasnya terdapat Museum Manusa Yadnya/Pitra Yadnya. Pada madya mandala terdapat bangunan yang menarik yaitu sebuah Balai Pelik yang dihiasi dengan arca Dewata Nawa Sanga, simbolia dari sembilan Dewa penjaga penjuru dunia. Pada niata mandala terdapat kompleks pura kecil yang bernama Pura Luhur. Di sarnping itu terdapat pula kolam kecil beriai air mancur, dan bangunan wantilan di arah tenggara.
Tujuan Pembangunan Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun, tergolong Pura Pusat Kerajaan di mana inti pemujaan bersifat genialogia atau pemujaan terhadap leluhur yang dilengkapi pula persimpangan-persimpangan dari beberapa pura gunung dan Aura laut. Tujuan Raja I Tjokorde Sakti Blambangan mendirikan perhyangan di Taman Ayun adalah agar seluruh keluarga kerajaan beserta rakyat sewilayah Mengwi dapat sembahyang serta memohon restu untuk kesejahteraan kerajaan. Selain itu untuk memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Kerajaan Mengwi, mengingat pura kahyangan jagat di Bali sangat jauh dan medannya sangat sulit ditempuh serta melewati wilayah kekuasaan lain.’ Dan setiap ada karya utarna di Taman Ayun, Ida Tjokorde Sakti Blambangan selalu melibatkan semua sang guru loka (pandita) sewi­layah Kerajaan Mengwi baik sebagai wiku saksi maupun sebagai bhagawanta Kerajaan.
Pada masa itu, salah seorang keturunan Sang Aji Saka bernama Ki Batuangsut yang tinggal di Lembah Gunung Batur, setelah berada di wilayah Kerajaan Mengwi dan menetap di tanah suci Mambal menghadap Raja Mengwi. Ki Batuangsut menerima wahyu agar ia melaporkan ke hadapan Raja Mengwi, bahwa Ida Bhatara di Gunung Batur akan menurunkan hujan lebat serta banjir besar sehingga menyebabkan air Sungai Ayu (Tukad Ayung-bahasa Bali) meluap.Banjir besar itu akan menghanyutkan batu-batu besar dan kecil. Di mana batu-batu itu berkumpul, di situlah Ida Bhatara di Batur menghendaki dibuatkan Palinggih Pesimpangan. Diberitakan beberapa bulan kemudian, turun hujan diaertai angin kencang, siang-malam tidak henti-hentinya menyebabkan Sungai Ayu banjir besar. Sebagaimana sabda Bhatara Danu, tiada terhitung banyaknya batu besar dan kecil berkumpul di tepi sungai pada lingkungan Tegal Suci di Desa Mambal. Raja Mengwi lalu menitahkan rakyat Mambal, Semana, dan Lambing membuat pura untuk pemujaan Bhatari Danu Batur. Pura itu kemudian dinamakan Kahyangan Penataran Agung Hening, diplaspas pada tahun Icaka 1565 (1643 M). Jero Gede Batuangsut kemudian din,obatkan sebagai pemangkunya hingga keturunannya kelak.
Putra Raja I yang bernama I Gusti Agung Ratu Panji menghadap ayahandanya di Mangarajia. I Gusti Agung mohon restu akan berperang melawan I Dewa Anom Sukawati. I Gusti Agung menyatakan perang, karena betapa kecewanya, ketika I Dewa Anom Sukawati menyerahkan Tjokorde Iatri Kaler dipersunting oleh I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng. Sebenarnya Raja Mengwi telah menasihati putranya agar mengurungkan niatnya. Namun I Gusti Agung Ratu Panji sangat sakti, tidak mempan oleh senjata tajam. Kerana merasa sakti itulah, ia tidak menghiraukan nasihat ayahnya. Akhirnya kekalahan pun diderita. I Gusti Agung berhasil ditawan. Kemaluannya dihancurkan (dekdek-bahasa Bali) karena ditumbuk oleh pihak lawan bertempat di sebelah timur Desa Bun (Sedang). Di tempat beliau ditawan ini, kemudian dihangunlah peringatan yang diaebut Pura Pedekdekan. Jenazah I Gusti Agung sempat diaemayamkan di Tegal Sibang dan ditempat ini dibangun peringatan yang diaebut Pura Gede di Tegal Sibang.
Jenazah I Gusti Agung lalu diusung ke Mangarajia. Seiai iatana menangiai jenazahnya. Sebagai tanda bhakti dan penghormatan rakyat Mangarajia, almarhum diberi julukan Batara Mantuk Ring Pedekdekan. Dan arwah beliau diiatanakan pada sebuah pelinggih di Pura Sada Kapal yang diaebut Pelinggih Betara Panji Lumahing Pedekdekan alias Batara Jayeng Rat.
Periatiwa yang mengenaskan itu sempat diaesalkan oleh kakeknya yaitu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti, karena putra I Gusti Ayu Panji itu diharapkan nantinya dapat menggantikan ayahandanya menjadi Raja 11 Kerajaan Mengwi. Akan tetapi Hyang Parama Kawi menghendaki lain. Pada masa kekuasaan Raja III Gusti Agung Nyoman Alangkajeng alias Tjokorde Nyoman Alangkajeng pada tahun Icaka 1616 atau 1694 M, Keraton Puri Kawiyapura di Bekak dipindahkan lagi ke arah timur agar berdekatan dengan Pura Taman Ayun bertempat di bencingah yang diaebut Puri Agung sampai sekarang.
Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat perbaikan pura secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang terlihat