Tiap hari raya seperti hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu berbondong-bondong ke Pura Taman Ayun. Sebagian besar di antara mereka memiliki tujuan piknik. Apalagi, di areal pura itu, memang diSediakan tempat untuk duduk-duduk, anak-anak bermain, dan memancing ikan.
Salah satu pura di Kabupaten Badung itu
memang dilengkapi pertamanan yang asri. Pura ini dikelilingi kolam besar
dengan ketersediaan air yang cukup. Di tepi kolam tumbuh berbagai pohon
bunga, menambah indahnya suasana. Itulah Pura Taman Ayun. Pura ini
terletak di Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, 18 km dari
Kota Denpasar. Selain dikunjungi umat Hindu di saat hari raya, pura ini
selalu ramai dikunjungi tamu mancanegara dan nusantara, karena merupakan
salah satu objek wiaata.
Lokasinya berada di utara jalan, pada
ketinggian antara 180 – 240 meter dari permukaan air laut. Untuk biaa
sampai ke areal pura, pamedek mesti melewati jembatan kecil.
Dari kejauhan tampak ujungujung atap bangunan meru bertumpang.
Pelinggih meru itu merupakan pesimpangan sejumlah pura bestir di Bali.
Jika dirunut akar katanya, “taman” berarti kolam atau kebun bunga,
sedangkan “ayun” berarti “kehendak” atau “indah”. Itu berarti secara
harafiah, Taman Ayun berarti taman yang indah atau taman yang dapat
memberikan apa yang dikehendaki sebagai pembangkit rasa keindahan.
Kapan pura ini dibangun? Menurut Babad Mengwi, Pura
Taman Ayun dibangun oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan
selesai dipelapas pada tahun 1634 M. Arsitektur bangunan pura ini dibuat
oleh rekan Raja Mengwi, seorang keturunan Cina dari Banyuwangi bernama
Ing Khang Ghhoew, yang lumrah diaebut I Kaco.
Sebelum bertutur lebih lanjut, rupanya
tidak ada salahnya jika kita menengok masa silam, sebelum berdirinya
pura yang sering dikunjungi wiaatawan ini.
Sejarah pura ini sangat erat kaitannya
dengan Kerajaan Mengwi. Nama lain kerajaan Mengwi adalah Mangapura,
Mangarajia dan Kawiyapura. Proses perjalanan sejarah kerajaan Mengwi,
sangat panjang dan berbagai macam pengalaman telah dialaminya sebagai
kerajaan yang sangat besar. Secara garia-garia besar perjalanan sejarah
Kerajaan Mengwi khususnya yang menyangkut Pura Taman Ayun, kita biaa
tuturkan sebagai berikut:
I Gusti Agung Maruti Meninggalkan Gelgel
Pada hari Selasa Paing, Wuku Bala, I
Gusti Agung Maruti atau I Gusti Agung Dimadhe meninggalkan Gelgel,
Klungkung, di mana pada saat itu Dalem Klungkung yang bernama Sri Anom
Pahmayun Dimade alias Dalem Dimade sedang berada di Guliang Klungkung.I
Gusti Agung Maruti adalah keturunan Arya Kresna Kepakiaan. Dengan
diiringi oleh putra-putrinya dan rakyat sekitar 1.800 orang, serta I
Gusti Kaler Pacekan, beliau melakukan perjalanan menuju arah barat daya
dari Gelgel menuju hutan Jimbaran. Di sana I Gusti Maruti mengerahkan
rakyat merabas hutan untuk puri dan perumahan rakyat. Kemudian pada
Icaka 1485 (1563 M), beliau membuat kahyangan sebuah meru bertingkat
sebelas untuk kedudukan Bathara Maspahit demi kemakmuran.
Entah berapa lama berpuri di Jimbaran,
beliau meninggalkan tempat itu, karena berseliaih paham dengan I Gusti
Kaler Pacekan. I’erseliaihan itu terjadi, konon karena diambilnya kedua
keria beliau (Keria Kepatihan I Panglipur dan I Sekar Gadung) dan
berhasil iiienghasut rakyat agar berontak terhadap tuannya.
I Gusti Agung Maruti bergerak ke arah
utara. Dengan diiringi putraputrinya, beliau menuju Negara Nambangan
Badung dan berjumpa dengan Kiyayi Tegeh Kori. Beliau diaarankan agar
datang ke Negara Kapal untuk menemui Pangeran Kapal. Ki Namblang
ditugaskan untuk mengantarkan I Gusti Agung Maruti. Maka bergeraklah
beliau dengan ketiga putra-putri beliau I Gusti Agung Putu, I Gusti
Agung Ayu Made, I Gusti Agung Anom dengan beberapa pengikut yang setia
diantarkan oleh Ki Namblang.
Di Negara Kapal, I Gusti Agung Maruti
dan pengikutnya diterima dengan baik oleh Pangeran Kapal. Beliau bersama
putra-putrinya dan Ki Namblang tinggal di Kapal beberapa lama.
Kemudian tatkala meletus perang antara
Negara Kapal dan Negara Beringkit, I Gusti Agung Maruti membela Kapal.
Sedangkan Negara Beringkit dibantu I Gusti Kaler Pacekan. Gusti Kaler
berjanji, jika menang dalam pertempuran, sebagai tanda persaudaraan,
beliau akan menyerahkan Negara Kapal. Namun dalam pertempuran itu, I
Gusti Agung Maruti tidak tahan melawan Keria Kepatihan. Keria itu
miliknya sendiri yang dirampas oleh I Gusti Kaler Pacekan. Oleh karena
kewalahan, I Gusti Agung Maruti meninggalkan Desa/Negara Kapal dengan
diiringi putra-putrinya dan Ki Namblang. Beliau berlari ke arah timur
menuju Desa Ranekkan dan mendirikan perkampungan di hutan yang bersinar
bagaikan emas. Oleh karena itu, tempat itu dinamakan Kuwumas (kuwu =
rumah) yang lama-lama diaebutkan Kuramas. Pada hutan yang gemerlap itu,
lalu ditemukan sebuah perhiyangan. I Gusti Agung Maruti selanjutnya
mengadakan renovasi dan diupacarai sebagaimana mestinya. Pura itu
kemudian diberi nama Pura Mas Ceti.
Dewata Agung kemudian menganugerahi I
Gusti Agung Maruti berupa pusaka ampuh bernama I Bintang Kukus.
Sejak itu, Desa Kuramas semakin maju. Rakyatnya semakin hidup sejahtera.
Kesejahteraan Kuramas didengar oleh I Gusti Kaler Pacekan. Lalu ia
menyiapkan bala tentaranya menyerang I Gusti Agung Maruti. Dalarn perang
yang berlangsung seru. I Gusti Kaler Pacekan tidak mampu melawan pusaka
I Bintang Kukus dan selan_jutnya kembali ke Beringkit. I Gusti Agung
Maruti ternyata tidak hanya dapat mengalahkan Gusti Kaler Pacekan, tapi
juga dapat merebut kembali
kedua keria pusakanya. Itulah sebabnya,
semangat Maruti bangkit menggebu. Beliau lalu memburu I Gusti Kaler
Pacekan dan menikamnya dengan keria. Gusti Kaler meninggal di Bukit
Pegat.
Setelah aman tentrarn keadaannya, daerah
Kapal dan Beringkit diaerahkan kepada putra bungsu I Gusti Agung Anom.
Untuk mengemban tugas negara, putranya itu dibekali keria pusaka bernama
I Panglipur. Sedangkan I Gusti Agung Maruti kembali ke Kuramas.
Setelah memegang Negara Kapal. I Gusti
Agung Anom bergelar I Gusti Agung Made Agung. Cukup lama beliau berada
di Kapal, namun tidak menurunkan putra. Olch karena itu, beliau
seringkali bersembahyang dan meditasi (yoga) bersama iatrinya Gusti Luh
Bengkel (putri dari Kriyan Bebengan) di Pura Sada. Kapal untuk memohon
agar diberkahi seorang putra laki-laki. Atas asung kerta wara nugraha
Ida Bhatara di Pura Sada Kapal, lahirlah seorang putra laki-laki diberi
nama I Gusti Agung Putu. Adapun Ki Namblang juga mempunyai seorang putra
yang diberi nama Ki Kedua alias I Gusti Made Serangan.
Suka dan duka rupanya memang selalu
berdampingan. Beberapa lama kemudian, ada prang yang tidak senang
terhadap I Gusti Agung Anom. Salah satunya adalah I Gusti Ngurah
Batutumpeng yang menguasai daerah Kekeran. Oleh karena memang ada
benih-benih permusuhan, maka sedikit saja ada masalah akan menjadi
besar. Begitulah yang terjadi. Oleh karena sesuatu hat, maka terjadilah
perkelahian antara I Gusti Agung Putu dan I Gusti Batutumpeng dengan
para pengikutnya. Dalam peperangan itu, I Gusti Agung Putu kepayahan
akibat dikeroyok. Agung Putu lalu jatuh di tanah tiada sadarkan diri.
Rakyat Kekeran yang melihat keadaan I Gusti Agung Putu demikian, mengira
sudah tewas. Pada saat itulah datang Ki Kedua dari Desa Kapal yang
serta merta memberi pertolongan menutupi tubuh I Gusti Agung Putu dengan
daun Liligundi. Ki Kedua memang mempunyai hubungan kwangi dengan I
Gusti Agung Putu dari perkawinan kakeknya asal Badung. Mengetahui hat
ini dengan cepat I Gusti Agung Putu menitipkan keria pusakanya yang
bernama I
Panglipur agar diaembunyikan Ki Kedua. I
Gusti Agung Putu berpesan bahwa keria pusaka itu dilarang diberikan
kepada siapapun kecuali diminta Iangsung oleh beliau sendiri.
Dalam keadaan tersiksa, I Gusti Agung
Putu dihaturkan oleh 1 Gusti Ngurah Batutumpeng ke hadapan Raja Tabanan.
Sementara itu di Puri Tabanan, raja sedang menerima.1 Gusti Gede
Bebalang dari Puri Marga. Setelah melihat keadaan I Gusti Agung Putu
yang menderita. Gede Bebalang merasa kasihan. Lalu ia memohon ke hadapan
Raja Tabanan agar diperkenankan meminta I Gusti Agung Putu untuk diajak
ke Puri Marga agar dapat menemani adiknya yang bernama I Gust] Nyoman
Celuk. Raja Tabanan mengabulkan permintaan itu. Tapi pesan raja, agar
berhati-hati karena I Gusti Agung Putu dianggap sangat berbahaya ibarat
“panak macan” (anak harimau). Walaupun demikian I Gusti Gede Bebalang
tetap meminta karena kasihan melihat keadaan I Gusti Agung Putu
tersiksa. Berselang beberapa bulan kemudian, I Gusti Agung Putu dengan
diaertai I Gusti Celuk dan 200 orang, minta izin kepada I Gusti Gede
Bebalang akan merabas hutan di sebelah selatan Desa Marga untuk
perumahan rakyat dan purl. Kawasan dan purl itu kemudian diberi nama
Bala Ayu. Lambat laun, kata Bala Ayu kemudian menjadi Belayu.
Menghimpun Kekuatan
Lambat namun pasti, I Gusti Agung Putu
mulai menghimpun kekuatannya kembali dari Desa Belayu. Beliau juga
membentuk satuan-satuan pemuda pilihan sebanyak 40 orang yang terlatih.
Tujuannya, yakni menyerang kembali I Gusti Ngurah Batutumpeng. Pada hari
yang ditentukan, saat yang dianggap tepat, I Gusti Agung Putu berangkat
bersama Anglurth Weratmara, I Gusti Celuk dan rakyat dengan
persenjataan seadanya menyerang I Gusti Ngurah Batutumpeng.
Dalam pertempuran yang seru, I Gusti
Ngurah Batutumpeng herhasil dibunuh. Sanak keluarganya yang masih hidup
melarikan diri menuju Desa Kerambitan. Setelah I Gusti Ngurah
Batutumpeng gugur, daerah Kekeran menjadi kekuasaan I Gusti Agung Putu
lagi.
Sebelumnya I Gusti Ngurah Pupuan, I
Gusti Ngurah Beringkit, dan I Gusti Ngurah Penarungan menaklukkan diri
menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Batutumpeng. Dengan demikian,
maka wilayahnya kini otomatia menjadi wilayah di bawah kekuasaan I Gusti
Agung Putu. Dalam periode ini, I Gusti Agung Putu melakukan musyawarah
dengan I Gusti Nyoman Celuk dari Puri Marga. Agung Putu mohon pamitan
dari Belayu untuk pindah ke wilayah bekas kekuasaan Gusti Ngurah Mengwi.
Beliau lalu beserta keluarganya membangun Puri di Bekak yang diaebut
Keraton Puri Kaleran. Selanjutnya beliau membuat tetamanan yang
berlokasi di sebelah barat Puri Bekak yang dinamakan Taman Ganter. Kata
Ganter di sini diberi anti “yang sungguh menakjubkan” atau “mempesona”.
Keraton Puri Kaleran dibangun pada tahun 1627 Masehi/lcaka
1549. Semenjak itulah I Gusti Agung Putu
memanfaatkan Taman Ganter sebagai tempat untuk mencuci senjata-senjata
Pusaka Puri. Taman Ganter dipelihara dengan baik untuk melengkapi
keindahan
Keraton Puri.
Adapun Ki Kedua (I Gusti Made Serangan)
dititahkan pindah dari Kapal. Beliau membuat rumah berdekatan dengan
Puri Kaleran yang diberi nama Jeroan Serangan. Kakak perempuannya yang
bernama Ni Alangkajeng dijadikan iatri oleh I Gusti Agung Putu.
Beberapa lama kemudian, tenjadi perang
tanding antara I Gusti Agung Putu melawan Pasek Badak yang menguasai
Desa Buduk. Pasek Badak terkenal sakti dan tidak mempan berbagai
senjata. Namun dalam perang tanding itu, Pasek Badak harus menyerah
setelah melihat Pedang Pusaka I Naga Keras. Sebelum Pasek Badak
menghembuskan napasnya terakhir, ia minta agar ada salah seorang putra I
Gusti Agung Putu menyembah arwah Ki Pasek Badak kelak dikemudian hari. I
Gusti Putu mengabulkan permintaan itu. Namun putra yang akan
menyembahnya tidak keturunan asli, melainkan putra yang diangkat dengan
upacara. Dalam cerita yang dipentaskan oleh Topeng Primbon Carangsari
(Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia, orang yang diangkat sebagai
putra itu berjumlah 40 orang. Mereka itu dari keturunan Brahmana 10,
Kesatria 10 orang, Wesia 10 orang dan Sudra 10 orang. Mereka itu juga
akan menjadi tabeng wijang (penjaga) puri yang kebal dengan
senjata tajam. Setelah Pasek Badak gugur, ia dibuatkan sebuah Gedong
Sari Meru tumpang satu serta diempon oleh 40 orang putra angkat dari
catur warna yang selanjutnya dianugrahi nama Ki Baladika Batabatu.
Selanjutnya setelah Penebel dikuasai oleh I Gusti Agung Putu, beliau
meluaskan lagi wilayahnya ke bagian timur. Di bawah pimpinan I Gusti
Gede Bebalang beserta adiknya I Gusti Nyoman Celuk dari Belayu, mereka
menyerang serta menguasai wilayah I Gusti Agung Sukawati, I Gusti Agung
Cau dan Gusti Agung Ketut Agung di Goam. Dengan demikian batas kekuatan
Mengwi sampai sebelah barat Petanu, batas selatan Uluwatu dan batas
utara Gunung Mangu/Beratan yang juga diaebut Gunung Pengelengan.
Beberapa lama kemudian, I Gusti Bebalang
melaporkan bahwa yang berkuasa di Ler Gunung amat berwibawa, bergelar I
Gusti Ngurah Panji Sakti. Beliau mempunyai putra bernama I Gusti Panji
Wayahan. Merasa berwibawa yang diaegani baik kawan maupun lawan. I Gusti
Panji Wayahan, telah berani menyabot daerah kekuasaan I Gusti Agung
Putu di Pegunungan Utara. Apa lagi ia merasa sangat kuat dengan memiliki
perwira-perwira tet•una yang diaebut Guwak sebanyak 100 orang. Para
perwira itu sudah tersohor ketangguhannya dalam peperangan yang dipimpin
oleh Ki Macan Gading.
Maka atas laporan tersehut I Gusti Agung
Putu menitahkan untuk menyerang Kerajaan Buleleng. sekaligus menguji
ketangguhan Ki Batabatu. Penyerbuan itu dipimpin oleh Gusti Bebalang.
Scdangkan penyerangan dari Desa Gitgit dipimpin oleh I Gusti Celuk.
Sementara itu I Gusti Agung Putu yang juga dijuluki I Gusti Agung Sakti
membantu dari belakang.
Penyerbuan itu cukup menakjubkan. I Gusti Panji Wayahan kewalahan menghadapi pasukan Trio ini. la
lalu melapor kepada Ayahnda Raja Buleleng yang herkedudukan di Puri
Sukasada. Mendengar laporan itu. Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji
Sakti mengatur strategi, yaitu berpura-pura tidak mengetahui bahwa
dirinya diaerang oleh Mengwi. Bahkan sebaliknya ia menurunkan
gadia-gadia cantik dan masing-masing membawa setangkai bunga untuk
menjemput kedatangan I Gusti Agung Putu sebagaimana halnya menjemput
raja agung.
Oleh karena diperlakuan seperti itu, I
Gusti Agung Putu menjadi sangat gembira. Bahkan beliau lupa dengan
rencana penyerbuan semula. Sikap beliau berubah: dari permusuhan menjadi
persaudaraan. Lebih-lebih beliau dipersembahkan hadiah, yakni seorang
gadia cantik. Gadia itu bukan dari keturunan sembarang, melainkan putri
Raja Buleleng sendiri yang bernama I Gusti Ayu Panji. I Gusti Ayu Panji
pun diboyong ke Keraton Puri Mengwi.
Dalam perjalananan ini, I Gusti Ayu
Panji diiringi oleh 225 orang dari berbagai keturunan wangsa yang
menjadi prajurit andalan Buleleng. Selain itu, I Gusti Ayu Panji membawa
wilayah kekuasaan Raja Buleleng yang dihadiahkan kepada I Gusti Agung
Putu antara lain wilayah kekuasaan di Blambangan Jawa Timur, dan wilayah
Jembrana.
Upacara perkawinan dilangsungkan di Puri
Kaleran Mengwi dengan meriah. Dalam menjalankan pemerintahan, I Gusti
Agung Putu menyusun strategi penyebaran putra-putranya yang dibantu oleh
para manca (setingkat camat) yang dapat dipercaya. Putranya
yakni I Gusti Agung Made Banyuning, yang beribu I Gusti Ayu Toya Anyar
(keturunan Gajah Para) dititahkan memegang wilayah Sayan. I Gusti Agung
Kamasan diberi kekuasaan memegang wilayah Sibang Serijati. Untuk wilayah
Munggu, pemerintahan diaerahkan kepada I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng.
Untuk wilayah bagian tengah dari timur
ke utara, pemerintahan dipercayakan kepada I Gusti Agung Putu Pacung di
Singasari Blahkiuh. Sedangkan wilayah Penarungan diaerahkan kepada I
Gusti Agung Wayahan. Lalu, I Gusti Agung Ketut Buleleng diberi kekuasaan
untuk memerintah Kapal Muncan. Adapun I Gusti Agung Lebah diberi
kekuasaan di Kapal Kanginan.
Pada masa periode ini, I Gusti Agung
Putu berhasil menewaskan Ki Balian Batur yang diutus oleh Betari di
Batur. Ki Balian Batur diutus untuk menggagalkan hasrat Mengwi menyerang
Klungkung. Sebagai tanda kemenangan ini, I Gusti Agung Putu lalu
membuat pura di Desa Rangkan yang diberi nama Pura Uriakusuma. Pada
sebelah timur pura itu dibangun puri, dinamakan Puri Kanginan. Oleh
karena pura itu letaknya berdampingan dengan puri, namanya kemudian
diganti bemama Pura Penataran Dalem Agung. Sewaktu upacara di pura ini,
Sri Maha Sirikan, diiringi oleh Natheng Mangapura, para manca, punggawa dan rakyat, melakukan
persembahyangan bersama.
Hubungan Bhagawanta dengan Mengwiraja
I Gusti Agung Maruti waktu berada di
Kuramas Gianyar, memohon ke hadapan Brahmana Geria Sindhu dan Pidada
Sidemen Karangasem agar mengizinkan salah satu keturunannya sebagai
patirtan beliau beserta keturunannya. Dalam keputusan pangliair di Geria
Sindhu dan Pidada Karangasem, Ida Putu Sidemen yang mebhiaeka Ida
Pedanda Kompiyang Pemaron kelahiran Geria Mandharawati Sidemen
ditugaskan untuk berangkat dan agar menetap di mana adanya keturunan I
Gusti Agung Maruti. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah sentana Ida
Diata mabhiaeka Ida Pedanda Wayahan Kekeran kelahiran Geria Rai
Kaba-Kaba. Ketika masih walaka minggat ke Desa Sidemen dan membangun
Geria Mandharawati Sidemen. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah cucu
dari Ida Pedanda Wayahan Kekeran dan bersaudara kandung Ida Pedanda
Kawiaunia yang membangun Geria Kawiaunia Kaba-Kaba.
Setelah tatap muka dengan I Gusti Agung
Putu. Ida Pedanda Kompyang Pemaron dihaturkan tempat pasraman di Desa
Munggu yang diaebut Geria Sidemen. Semenjak itulah Brahmana Geria
Sidemen Munggu merupakan penasihat spiritual dan keagamaan Kerajaan
Mengwi Raja. Namun belum ditetapkan secara resmi sebagai bagavanta
karena I Gusti Agung Putu belum melaksanakan upacara
Mapodgala Raja.
Membangun Taman Ayun
Semenjak perkawinan I Gusti Agung Putu
dengan putri raja Buleleng I Gusti Ayu Panji, Keraton Puri Kaleran
dipindahkan lokasinya yakni bergeser ke Selatan Puri Kaleran yang diberi
nama Keraton Puri Kawiyapura. Selanjutnya I Gusti Agung Putu beserta
keluarga menetap di Puri Kawiyapura yang juga berdekatan dengan Taman
Ganter. Oleh karena itu Taman Ganter tetap ditata dan diperindah agar
kelihatan sebagai Hyang Hyangning ukir nan indah.
Adapun pemindahan puri itu adalah atas
petunjuk dan saran-saran Ida Pedanda Gede Kekeran (Geria Kekeran Mengwi
Tani) bersama Ida Pedanda Kompyang Pemaron (Geria Sidemen Munggu).
Mengapa dipindahkan, karena di Puri Kaleran pernah adanya ceceran darah
Pasek Badak waktu perang tanding dengan I Gusti Agung Putu. Adanya
ceceran darah itu menimbulkan vibrasi buruk yang diaebut Kecamahan dan Kelebon Amuk. Keadaan seperti itu, tidak baik bagi keturunan yang menempatinya, karena biaa memakan korban secara berkesinambungan.
Setelah I Gusti Agung Putu merenungkan
petuah-petuah itu. beliau mendapat inspirasi baru. Beliau memilih suatu
tempat yang dipandang memenuhhi syarat untuk membangun sebuah taman yang
Iebih luas dan strategia letaknya. Pembangunan tetanaman yang lebih
luas berlokasi di atas dataran yang agak tinggi, yang kemudian dinamakan
Taman Ayun. Taman berarti kolam atau kebun bunga dan avun berarti
kehendak atau indah. Dengan demikian. Taman Ayun berarti taman yang
indah atau taman yang dapat memberikan apa yang dikehendaki sebagai
pembangkit rasa keindahan.
Pura Taman Ganter dipindah ke Pura Taman
Ayun pada tahun 1413 M. Menurut Babad Mengwi Pura Taman Ayun dibuat
oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan selesai/dipelapas pada
tahun 1634 M, termuat dalam Babad Mengwi dengan Candra Sengkala “sad
bhuta Yak sa Dewa” yang nilai angkanya 1566 atau 1634 M.
Adapun sebagai arsitek pembangunan Pura
Taman Ayun dibuat oleh rekan beliau yakni seorang Cina dari Banyuwangi
yang bernama Ing Khang Ghhoew. Arsitek ini juga Iumrah dipanggil I Kaco.
Struktur Pura
Struktur Pura Taman Ayun terdiri dari Utama Mandala Gedong Pedarman Puri dan dilengkapi dengan Iata Dewata lainnya sebagai persimpangan atau Penvawangan dari
beberapa Pura Kahyangan Jagat di Bali termasuk pembangunan untuk memuja
Ida DanaHyang Dwijendra yang lebih dikenal di Bali Ida Pedanda Saktu
Wawu Rauh. Untuk memuja para leluhur raja, kita biaa melakukan di Gedong
Pedarman Paibon. Pada bagian Madya dan Niata Mandala dibangun candi
bentar atau diaebut Apt Surang sedangkan pada Utama Mandala dilengkapi
dengan sebuah Kori Agung diaebut Paduraksa.
Raja I Kerajaan Mengwi, Mangarajia, Mangapura, Kawiyapura
Setelah Pura Taman Ayun rampung dan diplaspas (diaucikan),
maka atas kehendak rakyat Mangarajia menetapkan I Gusti Agung Putu
menjadi raja yang pertama di Kerajaan Mengwi sebagai mangkuta dengan
terlebih dahulu melaksanakan upacara Mapodgala sesuai swadarmaning negara
kerajaan. Untuk mencapai tujuan itu I Gusti Agung Putu mengadakan
paruman yang dihadiri oleh segenap warga purl, para walaka dan sulinggih
serta para manggala kerajaan. Paruman dipimpin oleh Ida Pedanda
Kompyang Pemaron dari Geria Sideman Munggu. Di dalam pertemuan itu, Ida
Pedanda memperkenalkan diri hahwa beliau adalah brahmana dari Geria
Mandarawati Sidemen, Karangasem dan kini berada di Geria Sidemen Munggu
untuk mendampingi Raja Mengwi. Dalam paruman itu ada brahmana dari Batan
Poh Buduk tidak hadir karena ajajuden (tajen) sehingga oleh paruman diputuskan untuk dipersonagratakan dari sidikara sesana kebrahmanan dan dianggap tidak patuh terhadap kehendak Raja Mengwi. Paruman juga memutuskan menetapkan I Gusti Agung Putu melakukan upacara mapodgala bertempat
di Pura Taman Ayun dengan kedudukan Raja I di Keraton Puri Kawiyapura.
Karena berdekatan dengan Pura Bekak yang baru diaebut Pun Bekak, upacara
inapodgala dilakukan bertempat di Pura Taman Ayun. Upacara dipuput oleh sang para guru loka sewilayah Mangarajia sebagai wikusaksi. Sebagai
pimpinan upacara adalah Ida Pedanda Gede Kekeran Geria Kekeran Mengwi
Tani dan Ida Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu. Ida Pedanda
Gede Alangkajeng Geria Taman Intaran Sanur juga merupakan menantu dari I
Gusti Agung Putu, dan masih satu lalintian (keluarga) dengan brahmana Munggu.
Setelah melaksanakan upacara mapodgala, secara
resmi I Gusti Agung Putu berganti nama menjadi I Gusti Ngurah Made
Agung alias I Gusti Agung Ngurah Made Agung alias I Gusti Agung Sakti,
dengan bhiaeka Ida Tjokorde Sakti Blambangan. Semenjak itu pula secara
resmi Ida Tjokorde Sakti Blambangan mengangkat serta menetapkan dua bhagawanta (penasihat
spiritual iatana) yaitu Ida Pedanda Gede Kekeran Mengwitani dan Ida
Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu yang merupakan bhagawanta I Kerajaan Mengwi.
Adapun leluhur Ida Pedanda Gede Kekeran
adalah dari Kayu Putih Buleleng turut datang dan menetap di Mengwi waktu
mengikuti perkawinan I Gusti Ayu Panji. Oleh Raja I Ida Tjokorda Sakti
Blambangan leluhur beliau ditempatkan di Kekeran Mengwitani, Werdi
Sentana Mangun Geria Den Kayu, Geria Bun, Geria Lanang dan Geria Kekeran
Blahbatuh Gianyar.
Pura Taman Ayun bersifat geneologia atau pemujaan terhadap leluhur. Namun pura ini dilengkapi periimpangan beberapa
pura besar di Bali. Artinya kalau memuja Tuhan dalam berbagai
manifestasinya yang berstana di sejumlah pura di Bali, biaa dilakukan di
tempat ini.
Mengapa pura ini dibangun? Menurut
sumber, tujuan raja Cokorda Sakti Blambangan mendirikan parahyangan di
Taman Ayun adalah agar seluruh keluarga kerajaan beserta rakyat
sewilayah Mengwi dapat menghaturkan persembahyangan, memohon restu untuk
keselamatan serta kesejahteraan. Keberadaan pura ini erat kaitannya
dengan berdirinya kerajaan Mengwi pada tahun 1627 masehi atau 1549 caka.
Jalan Khusus
Untuk mengetahui keberadaan fiaik
bangunan pura, para turia dibuatkan jalan khusus mengelilingi areal
utama mandala. Pura ini dikelilingi kolam besar, sehingga dari kejauhan,
pura ini seolah-olah terapung. Areal pura ini luasnya mencapai empat
hektar, ditumbuhi berbagai macam bunga dan pohon buah-buahan. Memang,
dulu pura ini merupakan pertamanan tempat beriatirahat.
Pura ini sempat mengalami kerusakan
akibat terjadi gempa besar pada Sabtu, 20 Januari 1917. Banyak bangunan
yang rusak parah (Ian ringan. Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat
perbaikan secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang
terlihat sekarang.
Piodalan atau pujawali di pura ini jatuh
pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia, setiap 210 hari sekali. Pengemponnya
adalah keluarga Puri Gede Mengwi. Seperti telah dikemukakan, pura ini
pada dasarnya pura paibon atau pedarman keluarga Raja Mengwi untuk memuja para roh leluhur yang diwujudkan dengan dibangunnya sebuah gedong paibon. Namun, di pura ini terdapat sejumlah pelinggih pesimpangan pura-pura besar di Bali seperti Pesimpangan Batukaru (meru tumpang 11), Pesimpangan Sakenan (meru tumpang 11), pelinggih Pura Pucak Padangdawa, pelinggih untuk memuja Ida Dang Hyang Dwijendra.
Di sana juga berdiri candi Pura Sada, Pesimpangan Batur (meru tumpang 9), pesimpangan Gunung Agung (meru tumpang 11), Pesimpangan Beratan (meru tumpang 9), Pesimpangan Maspahit (meru tumpang 7), Pesimpangan Batuangus (meru tumpang 5), Pesimpangan Pesurungan (meru tumpang 3). Di samping itu juga terdapat pelinggih Pasek Badak yang diaungsung oleh segenap bala putra teruna bata-batu (prajurit kerajaan).
Tentang Pasek Badak, kiaahnya cukup
menarik ketika dipentaskan dalam dramatari Topeng Perimbon oleh Topeng
Carangsari (Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia.
Ada satu cerita menuturkan, Pasek Badak
diundang oleh raja Mengwi untuk datang ke puri. Setelah berbasa-basi
sebentar, ternyata Pasek Badak diundang mengadu laga, karena raja Mengwi
ingin memperluas wilayah sampai ke Buduk, tempat Pasek Badak berkuasa.
Akan tetapi raja Mengwi tak mampu membunuh Pasek Badak dengan berbagai
senjata. Namun ada satu senjata sakti, milik kerajaan yang menyebabkan
Pasek Badak menyerah yakni senjata bernama Naga Keras. Pasek Badak rela
gugur dengan sejata itu, karena ia yakin akan mendapat moksha berkat
pusaka itu. Akan tetapi, ada permintaan Pasek Badak kepada raja, yakni,
agar pelinggihnya itu diaungsung oleh putra raja. Raja kemudian
mengangkat 40 orang sebagai putra peperasan (anak angkat) yang
terdiri dari empat golongan: yakni Brahmana, Kesatria. Wesia dan Sudra,
masing-rnasing 10 orang. Semua penyungsung itu kemudian akan menjadi
kebal dan menjadi tabeng wijang (prajurit) kerajaan Mengwi.
Bangunan lainnya yang juga terdapat di
sana adalah Bale Murda. Gedong Pengangge, Gedong Sari Bhatara Tengah
Segara, padmasana Bhatara Surya, Bale Pawedan, Bale Papelik Saka Anda,
Gedong Alit Pura Bekak, piyasan, sambiangan dan sebagainya.
Di utama mandala dibangun kori agung (paduraksa). Di tnadva mandala dan viata mandala dibangun candi bentar atau apit surang. Pada siai baratnya terdapat permandian umum dan di bagian atasnya terdapat Museum Manusa Yadnya/Pitra Yadnya. Pada madya mandala terdapat
bangunan yang menarik yaitu sebuah Balai Pelik yang dihiasi dengan arca
Dewata Nawa Sanga, simbolia dari sembilan Dewa penjaga penjuru dunia.
Pada niata mandala terdapat kompleks pura kecil yang bernama Pura Luhur.
Di sarnping itu terdapat pula kolam kecil beriai air mancur, dan
bangunan wantilan di arah tenggara.
Tujuan Pembangunan Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun, tergolong Pura Pusat
Kerajaan di mana inti pemujaan bersifat genialogia atau pemujaan
terhadap leluhur yang dilengkapi pula persimpangan-persimpangan dari
beberapa pura gunung dan Aura laut. Tujuan Raja I Tjokorde Sakti
Blambangan mendirikan perhyangan di Taman Ayun adalah agar seluruh
keluarga kerajaan beserta rakyat sewilayah Mengwi dapat sembahyang serta
memohon restu untuk kesejahteraan kerajaan. Selain itu untuk memberikan
kesempatan bagi seluruh rakyat Kerajaan Mengwi, mengingat pura
kahyangan jagat di Bali sangat jauh dan medannya sangat sulit ditempuh
serta melewati wilayah kekuasaan lain.’ Dan setiap ada karya utarna di
Taman Ayun, Ida Tjokorde Sakti Blambangan selalu melibatkan semua sang
guru loka (pandita) sewilayah Kerajaan Mengwi baik sebagai wiku saksi
maupun sebagai bhagawanta Kerajaan.
Pada masa itu, salah seorang keturunan
Sang Aji Saka bernama Ki Batuangsut yang tinggal di Lembah Gunung Batur,
setelah berada di wilayah Kerajaan Mengwi dan menetap di tanah suci
Mambal menghadap Raja Mengwi. Ki Batuangsut menerima wahyu agar ia
melaporkan ke hadapan Raja Mengwi, bahwa Ida Bhatara di Gunung Batur
akan menurunkan hujan lebat serta banjir besar sehingga menyebabkan air
Sungai Ayu (Tukad Ayung-bahasa Bali) meluap.Banjir besar itu akan
menghanyutkan batu-batu besar dan kecil. Di mana batu-batu itu
berkumpul, di situlah Ida Bhatara di Batur menghendaki dibuatkan
Palinggih Pesimpangan. Diberitakan beberapa bulan kemudian, turun hujan
diaertai angin kencang, siang-malam tidak henti-hentinya menyebabkan
Sungai Ayu banjir besar. Sebagaimana sabda Bhatara Danu, tiada terhitung
banyaknya batu besar dan kecil berkumpul di tepi sungai pada lingkungan
Tegal Suci di Desa Mambal. Raja Mengwi lalu menitahkan rakyat Mambal,
Semana, dan Lambing membuat pura untuk pemujaan Bhatari Danu Batur. Pura
itu kemudian dinamakan Kahyangan Penataran Agung Hening, diplaspas pada
tahun Icaka 1565 (1643 M). Jero Gede Batuangsut kemudian din,obatkan
sebagai pemangkunya hingga keturunannya kelak.
Putra Raja I yang bernama I Gusti Agung
Ratu Panji menghadap ayahandanya di Mangarajia. I Gusti Agung mohon
restu akan berperang melawan I Dewa Anom Sukawati. I Gusti Agung
menyatakan perang, karena betapa kecewanya, ketika I Dewa Anom Sukawati
menyerahkan Tjokorde Iatri Kaler dipersunting oleh I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng. Sebenarnya Raja Mengwi telah menasihati putranya agar
mengurungkan niatnya. Namun I Gusti Agung Ratu Panji sangat sakti, tidak
mempan oleh senjata tajam. Kerana merasa sakti itulah, ia tidak
menghiraukan nasihat ayahnya. Akhirnya kekalahan pun diderita. I Gusti
Agung berhasil ditawan. Kemaluannya dihancurkan (dekdek-bahasa Bali)
karena ditumbuk oleh pihak lawan bertempat di sebelah timur Desa Bun
(Sedang). Di tempat beliau ditawan ini, kemudian dihangunlah peringatan
yang diaebut Pura Pedekdekan. Jenazah I Gusti Agung sempat diaemayamkan
di Tegal Sibang dan ditempat ini dibangun peringatan yang diaebut Pura
Gede di Tegal Sibang.
Jenazah I Gusti Agung lalu diusung ke
Mangarajia. Seiai iatana menangiai jenazahnya. Sebagai tanda bhakti dan
penghormatan rakyat Mangarajia, almarhum diberi julukan Batara Mantuk
Ring Pedekdekan. Dan arwah beliau diiatanakan pada sebuah pelinggih di
Pura Sada Kapal yang diaebut Pelinggih Betara Panji Lumahing Pedekdekan
alias Batara Jayeng Rat.
Periatiwa yang mengenaskan itu sempat
diaesalkan oleh kakeknya yaitu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti,
karena putra I Gusti Ayu Panji itu diharapkan nantinya dapat
menggantikan ayahandanya menjadi Raja 11 Kerajaan Mengwi. Akan tetapi
Hyang Parama Kawi menghendaki lain. Pada masa kekuasaan Raja III Gusti
Agung Nyoman Alangkajeng alias Tjokorde Nyoman Alangkajeng pada tahun
Icaka 1616 atau 1694 M, Keraton Puri Kawiyapura di Bekak dipindahkan
lagi ke arah timur agar berdekatan dengan Pura Taman Ayun bertempat di bencingah yang diaebut Puri Agung sampai sekarang.
Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat perbaikan pura secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang terlihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar