Aham bhumim adadam aryaya.
aham vrsthim dasuse martyaya, aham apo anayam vavasana mama devaso anu ketam ayam. (Rgveda IV.26.2).
Maksudnya: Aku anugerahkan bumi ini kepada
orang yang mulia. Aku turunkan hujan yang bermanfaat bagi
semua makhluk. Aku alirkan terus gemuruhnya air dan hukum
alam yang patut pada kehendak-Ku.
|
Pura Besakih disebut Pura Purusa, sedangkan
Pura Batur disebut Pura Pradana.
Di Pura Besakih, Tuhan dipuja untuk menguatkan
jiwa kerohanian umat untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Sedangkan di Pura Batur, Tuhan dipuja untuk menguatkan spiritual
umat dalam membangun kemakmuran ekonomi.
Tenang secara rohani dan makmur secara
ekonomi merupakan dambaan universal setiap umat manusia
di dunia ini. Mengapa disebut Pura Purusa dan Predana. Hal
ini diceritakan dalam Lontar Usana Bali. Dalam Lontar Usana
Bali itu diceritakan secara mitologis bahwa Gunung Mahameru
di India sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit
sampai tersentuh maka hancurlah alam ini. Karena itu Sang
Hyang Pasupati mengambil puncak Gunung Mahameru di India
dengan kedua tangannya. Bongkahan Gunung Mahameru itu diterbangkan
ke Bali. Bongkahan yang digenggam dengan tangan kanan beliau
menjadi Gunung Agung. Sedangkan bongkahan pada tangan kiri
beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung distanakan
Sang Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Maha Dewa). Sedangkan
di Gunung Batur distanakan Dewi Danuh. Dewi Danuh itu tidak
lain adalah saktinya Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah Tuhan
sebagai dewanya air untuk kemakmuran makhluk hidup.
Lontar yang menyebutkan keberadaan Pura
Batur ini antara lain Lontar Usana Bali, Lontar Kusuma Dewa,
Lontar Raja Purana Batur. Menurut lontar tersebut Pura Batur
adalah Pura Sad Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat
untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Kahyangan Jagat
adalah tempat pemujaan Tuhan bagi semua umat Hindu.
Dasar membangun kemakmuran dinyatakan dalam
Bhagawad Gita adalah kris, goraksya dan vanjyam yang artinya
pertanian, peternakan dan perdagangan. Kemakmuran tersebut
tidak mungkin terwujud tanpa ada air. Dari airlah stavira
(tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia mengembangkan
kehidupannya.
Salah satu tujuan pendirian Sad Kahyangan
itu untuk memotivasi umat manusia melestarikan Sad Kerti
membangun kesejahteraan lahir batin. Danu Kerti dan Wana
Kerti adalah dua dari enam unsur Sad Kerti. Air samudera
menguap menjadi mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Air
hujan yang turun tanpa ada tumbuh-tumbuhan akan bablas langsung
ke laut.
Kalau ada tumbuh-tumbuhan sebagai hutan
di lahan yang tinggi seperti bukit dan gunung maka air tersebut
akan teresap dengan baik. Air yang diresap oleh hutan itu
akan menjadi danau dan sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya.
Demikianlah hukum alam ciptaan Tuhan.
Proses alam seperti itu harus dipelihara
dan dijaga dengan baik oleh umat manusia dengan arif dan
bijak. Air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan kata-kata
bijak adalah tiga ratna permata di bumi menurut Canakya
Nitisastra. Kalau air dan tumtuh-tumbuhan tanpa dikelola
dengan kata-kata bijak maka semuanya itu akan membawa bencana
bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Memuja Tuhan sebagai Dewi Danuh, saktinya
Dewa Wisnu untuk memelihara tegaknya eksistensi kata-kata
bijak mengelola proses alam itu. Kalau proses alam tersebut
dikelola dengan nafsu keserakahan justru akan membawa bencana
bagi manusia. Perpaduan Pura Ulun Danu Batur, Gunung Batur,
Danau Batur dan hutan di kawasan Kintamani merupakan keindahan
yang amat memukau. Upacara keagamaan Hindu dan sembahyang
di Pura Ulun Danu Batur itu hendaknya diarahkan untuk mencerahkan
umat agar menjaga keindahan tersebut.
Keberadaan Pura Ulun Danu Batur di kawasan
Kintamani itu harusnya dijadikan pusat penguatan jiwa untuk
memotivasi umat dalam memelihara lestarinya perpaduan proses
alam yang indah memukau.
Kawasan tersebut sebagai kawasan resapan
air di Bali. Kalau kawasan tersebut rusak maka salah satu
sumber untuk ajegnya alam Bali akan terancam. Jadi, bukan
orang Kintamani dan Bangli saja yang rugi, tetapi Bali secara
keseluruhan. Perhatian kepada Pura Ulun Danu Batur itu tidak
boleh berhenti pada proses pemujaan dan upacara semata.
Pemujaan umat ke Pura Ulun Danu Batur harus ditujukan untuk
mendalami dan memahami nilai-nilai universal yang berada
di balik Pura Ulun Danu Batur itu. Salah satu nilai universalnya
adalah adanya amanat untuk menjaga kelestarian air dan hutan
di Bali. Sesuai dengan Sarasamuscaya 135, lakukan Bhuta
Hita (alam sejahtra) terlebih dahulu untuk menjamin tercapainya
tujuan hidup dharma, artha dan kama di dunia sekala dan
moksha di dunia niskala.
* Ketut Gobyah
|
Cuplikan Babad tentang Dewi Danuh dan Gunung Batur |
Pura Batur yang lebih dikenal dengan
Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas permukaan
laut tepatnya di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di
sebelah Timur jalan raya Denpasar-Singaraja.
Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi
Gunung Batur dengan lava hitamnya serta Danau Batur yang
membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan
alam di sekeliling pura.
Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura
Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Karena
letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan
semuanya, termasuk pura ini kecuali sebuah pelinggih yang
tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama
pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan
membangun kembali Pura Batur ke tempat yang lebih tinggi
yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan
setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa.
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat
pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di kaki Gunung
itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000
rumah, 2.500 Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi
keajaiban menghentikannya pada kaki Pura. Orang-orang melihat
semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap
tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh
Pura kecuali "Pelinggih" yang tertinggi, temapt
pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air
danau. Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya
di tempat yang lebih tinggi dan memulai tusag mereka untuk
membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang masih
utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan
asal mula Pura Batur yang merupakan bagian dari "sad
kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang
tercatat dalam lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan
Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai
Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat
umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan
untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah Dewi dari air
danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur,
mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya,
lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar Usaha Bali, salah
satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda
kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut
:
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya satu bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan" (Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Identifikasi dan Daya Tarik
Nama obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi yang ada yaitu Gunung Batur dan Danau Batur. Nama Pura Batur berasal dari nama Gunung Batur yang merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum meletusnya Gunung Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada di kaki sebelah Barat Daya Gunung Batur. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur ini, maka Pura bersama warga desa Batur dipindahkan di tempat sekarang. Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur tegak menjulang, Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu daya tarik bagi setiap pengunjung. Dari Penelokan dapat memandang birunya Danau Batur dan buih-buih ombak yang menepi menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang umum dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Para nelayan juga mewarnai kesibukan di Danau Batur mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya di jual di pasar Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya yang merupakan makanan ciri khas Kabupaten Bangli.
Lokasi
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata Kawasan Batur berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri dan dingin pada malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari Ibu Kota Bangli jaraknya 23 km. Obyek wisata ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan Besakih.
Fasilitas
Di obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran, penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil. Mengenai fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.
Kunjungan
Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan Mancanegara dan Nusantara. Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan, Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu Negara baik dari pusat maupun tamu dari luar negeri.
Deskripsi
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesmu Dewa. Lontar Usana Bali dan Lontar Raja Purana Batur. Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman Empu Kuturan yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan banyaknya pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura Batur adalah Penyiwi raja-raja yang berkuasa di Bali, sekaligus merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang diistanakan adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali yang terjemahannya sebagai berikut : Adalah ceritera, terjadi pada bulan Marga Sari (bulan ke V) waktu Kresna Paksa (Tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan Puncak Gunung Maha Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali digunakan sebagai sthana Putra beliau yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa) dan puncak gunung yang dibawa tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai sthana Betari Danuh, keduanya itulah sebagai ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur Purusa dan Pradana dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan tempat Pemujaan Umat Hindu di seluruh Bali khususnya Bali Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di bidang persawahan. Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning ke X (kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak, sedahan-sedahan datang ke Pura Batur menghaturkan "Suwinih". Demikian kalau terjadi bencana hama. |
Dari Blandingan sampai Penglipuran |
PURA Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli
sebagai pura banuwa disembah oleh empat puluh lima desa
di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya.
Keempat puluh lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan
upacara yang disebut atos. Pemuja ini terjadi karena perjalanan
Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa di sekitarnya.
Dikisahkan, Ida Bhatara Indra memberikan
putra kedua tirta yang disebut Mas Manik Mampeh yang menjadi
aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa
Songan, Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena
diberi pesan oleh Bhatara Indra tak boleh dimanfaatkan oleh
orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I Ratu Ayu Mas
Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah
putranya.
''Ibu hamba khawatir karena Ibu seorang
putri tentunya akan banyak halangan, biarlah nanda yang
menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir,
ibu bisa menjaga diri,'' jawab Dewi Danu. Seketika Beliau
berubah wujud menjadi seorang tua laki-laki yang sudah renta
dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah nanda adakah
yang akan mengetahui ibu?''
Demikianlah Beliau menuju arah timur laut,
sampai pada sebuah dataran tinggi sambil memikul air dalam
dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu,
di sana beliau istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi
tumpah waktu dipikul, Beliau mengeluarkan airnya, dan memancur
dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama Tirta Mas
Manik Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.
Perjalanan dilanjutkan dan Beliau tiba
di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa ini,
saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk
Munti Gunung merasa jijik melihat Beliau yang pebuh kudisan
dan baunya menusuk hidung sangat busuk. Lalu mereka berkata,
''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti pengemis,
dan baumu sangat busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya
juga busuk. Sana kamu pergi jangan di sini mengemis''.
''Oh kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian
tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual air, dan kamu telah
menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian
sangat sulit hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''.
Begitulah, sampai saat ini penduduk Munti Gunung selalu
meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis serta menjadi
''peminta-minta di jalan perempatan''.
Selanjutnya, Dewi Danu menjajakan air dari
Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa pun tak ada
yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan,
serta mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari
air.
Tiba di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan
airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada niat membeli air, saya
menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan
dua kepeng, namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan
jalan menggadaikan sabit besar (tah). ''Nah Tuan sekalian,
Aku ini Bhatari Batur, dan air ini berilah nama Toya Mampeh,
dan tuan hendaknya menggantinya setiap tahun ke Batur''.
Sejak itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa
Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa beras, babi, ayam aduan
(uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan permintaan
dari Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula
sebagai tempat buangan, Beliau menjual airnya dengan dua
kepeng, serta dibayar dengan kerbau, dan selanjutnya, penduduk
berminat membeli dengan tiga kepeng, karenanya beliau mengambil
airnya sampai ke dasar labu, akibatnya kotoran labu dan
jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk
''agar sumurnya dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.
Perjalanan menuju ke barat dan di Pantai
Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga di sana
ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan.
Sampai di satu tempat dan semua airnya dituangkan serta
dikutuk: ''semoga air ini tak bisa dijadikan air pertanian,
dan air ini agar irit (inih) sehingga tempat itu menjadi
Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.
***
DEWI Danu kemudian berganti rupa kembali
menjadi seorang putri yang sangat cantik dan telah tiba
di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu
kecil dan berkata pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan
apakah tuan mau membeli kerbau, saya menjual kerbau''. ''Ah
ada-ada saja kamu mengatakan menjual kerbau, mana kerbaumu?''
''Ini tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu yang saya
jungjung,'' sahut Dewi Danu.
Mereka merasa ditipu, mana mungkin kerbau
ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya dirampas, dan dilihat
ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor, berkeliaran
dalam bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor
kerbau. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir
kerbau tersebut, sehingga lari tunggang langgang melampaui
beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan, Jinengdalem,
Kerobokan, dan sekitarnya.
Setelah sore Dewi Danu memanggil kerbaunya,
namun seekor yang paling besar dipotong oleh penduduk Kubu
Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur
lantas mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur,
nanti semua desa yang bekas diinjak kerbauku harus membayar
ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan
yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir
ke Batur dengan kerbau hidup.'' Begitulah, Kubutambahan
dan Bungkulan secara bergantian membayar kerbau ke Batur,
dan semua desa yang dilewati beliau dan bekas injakan kerbaunya
sebagai pemuja Pura Ulun Danur Batur.
Dewi Danu atau Ida Bhatari Batur kembali
ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau berganti rupa menjadi
gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada sabungan
ayam di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau
dalam hatinya berkata: ''Ah kenapa ada dagang gantal sangat
cantik, kalau ini kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''.
Dagang tersebut didekati: ''Putri cantik kiranya tak cocok
berdagang, bagaimana kalau Anda saya ambil menjadi istriku''.
''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur.
''Ah mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida
Bhatara Kehen. Lalu Bhatari Batur diperkosa.
''Hai tuan penguasa Kehen, kiranya tuan
tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan memperkosa saya,''
tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau
diperkosa, mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini
Bhatari Batur. Tuan sangat sombong baru di tempatmu, sekarang
semoga ada gunung yang membuang air Danau Batur agar tak
sampai ke Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang
gunung yang membujur dari barat ke timur menutup aliran
air Danau Batur. ''Ah, kamu baru bisa begitu saja sudah
sombong, aku juga bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen. Beliau
lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi yang
melubangi gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung
tersebut dilubangi oleh belut besi dan kepiting besi yang
saat ini tersimpan di Trunyan.
Akhirnya, Bhatari Batur kembali ke Batur.
Namun sebelumnya mereka sama-sama mengutuk. ''Nanti jika
Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata
Bhatara Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga
mengutuk semua orang Bangli yang memiliki genta, harus membayar
denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.
Sampai kini kutukan tersebut tetap berlaku,
dan karena gagal mempersunting Bhatari Batur, Bhatara Kehen
mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.
* Jro Mangku I Ketut Riana
|
Silsilah keturunan Ida Batuangsut dan perjalanannya dari Batur menuju br.Baturning
Senin, 30 November 2015
Pura Batur
PURA TAMAN AYUN
Tiap hari raya seperti hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu berbondong-bondong ke Pura Taman Ayun. Sebagian besar di antara mereka memiliki tujuan piknik. Apalagi, di areal pura itu, memang diSediakan tempat untuk duduk-duduk, anak-anak bermain, dan memancing ikan.
Salah satu pura di Kabupaten Badung itu
memang dilengkapi pertamanan yang asri. Pura ini dikelilingi kolam besar
dengan ketersediaan air yang cukup. Di tepi kolam tumbuh berbagai pohon
bunga, menambah indahnya suasana. Itulah Pura Taman Ayun. Pura ini
terletak di Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, 18 km dari
Kota Denpasar. Selain dikunjungi umat Hindu di saat hari raya, pura ini
selalu ramai dikunjungi tamu mancanegara dan nusantara, karena merupakan
salah satu objek wiaata.
Lokasinya berada di utara jalan, pada
ketinggian antara 180 – 240 meter dari permukaan air laut. Untuk biaa
sampai ke areal pura, pamedek mesti melewati jembatan kecil.
Dari kejauhan tampak ujungujung atap bangunan meru bertumpang.
Pelinggih meru itu merupakan pesimpangan sejumlah pura bestir di Bali.
Jika dirunut akar katanya, “taman” berarti kolam atau kebun bunga,
sedangkan “ayun” berarti “kehendak” atau “indah”. Itu berarti secara
harafiah, Taman Ayun berarti taman yang indah atau taman yang dapat
memberikan apa yang dikehendaki sebagai pembangkit rasa keindahan.
Kapan pura ini dibangun? Menurut Babad Mengwi, Pura
Taman Ayun dibangun oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan
selesai dipelapas pada tahun 1634 M. Arsitektur bangunan pura ini dibuat
oleh rekan Raja Mengwi, seorang keturunan Cina dari Banyuwangi bernama
Ing Khang Ghhoew, yang lumrah diaebut I Kaco.
Sebelum bertutur lebih lanjut, rupanya
tidak ada salahnya jika kita menengok masa silam, sebelum berdirinya
pura yang sering dikunjungi wiaatawan ini.
Sejarah pura ini sangat erat kaitannya
dengan Kerajaan Mengwi. Nama lain kerajaan Mengwi adalah Mangapura,
Mangarajia dan Kawiyapura. Proses perjalanan sejarah kerajaan Mengwi,
sangat panjang dan berbagai macam pengalaman telah dialaminya sebagai
kerajaan yang sangat besar. Secara garia-garia besar perjalanan sejarah
Kerajaan Mengwi khususnya yang menyangkut Pura Taman Ayun, kita biaa
tuturkan sebagai berikut:
I Gusti Agung Maruti Meninggalkan Gelgel
Pada hari Selasa Paing, Wuku Bala, I
Gusti Agung Maruti atau I Gusti Agung Dimadhe meninggalkan Gelgel,
Klungkung, di mana pada saat itu Dalem Klungkung yang bernama Sri Anom
Pahmayun Dimade alias Dalem Dimade sedang berada di Guliang Klungkung.I
Gusti Agung Maruti adalah keturunan Arya Kresna Kepakiaan. Dengan
diiringi oleh putra-putrinya dan rakyat sekitar 1.800 orang, serta I
Gusti Kaler Pacekan, beliau melakukan perjalanan menuju arah barat daya
dari Gelgel menuju hutan Jimbaran. Di sana I Gusti Maruti mengerahkan
rakyat merabas hutan untuk puri dan perumahan rakyat. Kemudian pada
Icaka 1485 (1563 M), beliau membuat kahyangan sebuah meru bertingkat
sebelas untuk kedudukan Bathara Maspahit demi kemakmuran.
Entah berapa lama berpuri di Jimbaran,
beliau meninggalkan tempat itu, karena berseliaih paham dengan I Gusti
Kaler Pacekan. I’erseliaihan itu terjadi, konon karena diambilnya kedua
keria beliau (Keria Kepatihan I Panglipur dan I Sekar Gadung) dan
berhasil iiienghasut rakyat agar berontak terhadap tuannya.
I Gusti Agung Maruti bergerak ke arah
utara. Dengan diiringi putraputrinya, beliau menuju Negara Nambangan
Badung dan berjumpa dengan Kiyayi Tegeh Kori. Beliau diaarankan agar
datang ke Negara Kapal untuk menemui Pangeran Kapal. Ki Namblang
ditugaskan untuk mengantarkan I Gusti Agung Maruti. Maka bergeraklah
beliau dengan ketiga putra-putri beliau I Gusti Agung Putu, I Gusti
Agung Ayu Made, I Gusti Agung Anom dengan beberapa pengikut yang setia
diantarkan oleh Ki Namblang.
Di Negara Kapal, I Gusti Agung Maruti
dan pengikutnya diterima dengan baik oleh Pangeran Kapal. Beliau bersama
putra-putrinya dan Ki Namblang tinggal di Kapal beberapa lama.
Kemudian tatkala meletus perang antara
Negara Kapal dan Negara Beringkit, I Gusti Agung Maruti membela Kapal.
Sedangkan Negara Beringkit dibantu I Gusti Kaler Pacekan. Gusti Kaler
berjanji, jika menang dalam pertempuran, sebagai tanda persaudaraan,
beliau akan menyerahkan Negara Kapal. Namun dalam pertempuran itu, I
Gusti Agung Maruti tidak tahan melawan Keria Kepatihan. Keria itu
miliknya sendiri yang dirampas oleh I Gusti Kaler Pacekan. Oleh karena
kewalahan, I Gusti Agung Maruti meninggalkan Desa/Negara Kapal dengan
diiringi putra-putrinya dan Ki Namblang. Beliau berlari ke arah timur
menuju Desa Ranekkan dan mendirikan perkampungan di hutan yang bersinar
bagaikan emas. Oleh karena itu, tempat itu dinamakan Kuwumas (kuwu =
rumah) yang lama-lama diaebutkan Kuramas. Pada hutan yang gemerlap itu,
lalu ditemukan sebuah perhiyangan. I Gusti Agung Maruti selanjutnya
mengadakan renovasi dan diupacarai sebagaimana mestinya. Pura itu
kemudian diberi nama Pura Mas Ceti.
Dewata Agung kemudian menganugerahi I
Gusti Agung Maruti berupa pusaka ampuh bernama I Bintang Kukus.
Sejak itu, Desa Kuramas semakin maju. Rakyatnya semakin hidup sejahtera.
Kesejahteraan Kuramas didengar oleh I Gusti Kaler Pacekan. Lalu ia
menyiapkan bala tentaranya menyerang I Gusti Agung Maruti. Dalarn perang
yang berlangsung seru. I Gusti Kaler Pacekan tidak mampu melawan pusaka
I Bintang Kukus dan selan_jutnya kembali ke Beringkit. I Gusti Agung
Maruti ternyata tidak hanya dapat mengalahkan Gusti Kaler Pacekan, tapi
juga dapat merebut kembali
kedua keria pusakanya. Itulah sebabnya,
semangat Maruti bangkit menggebu. Beliau lalu memburu I Gusti Kaler
Pacekan dan menikamnya dengan keria. Gusti Kaler meninggal di Bukit
Pegat.
Setelah aman tentrarn keadaannya, daerah
Kapal dan Beringkit diaerahkan kepada putra bungsu I Gusti Agung Anom.
Untuk mengemban tugas negara, putranya itu dibekali keria pusaka bernama
I Panglipur. Sedangkan I Gusti Agung Maruti kembali ke Kuramas.
Setelah memegang Negara Kapal. I Gusti
Agung Anom bergelar I Gusti Agung Made Agung. Cukup lama beliau berada
di Kapal, namun tidak menurunkan putra. Olch karena itu, beliau
seringkali bersembahyang dan meditasi (yoga) bersama iatrinya Gusti Luh
Bengkel (putri dari Kriyan Bebengan) di Pura Sada. Kapal untuk memohon
agar diberkahi seorang putra laki-laki. Atas asung kerta wara nugraha
Ida Bhatara di Pura Sada Kapal, lahirlah seorang putra laki-laki diberi
nama I Gusti Agung Putu. Adapun Ki Namblang juga mempunyai seorang putra
yang diberi nama Ki Kedua alias I Gusti Made Serangan.
Suka dan duka rupanya memang selalu
berdampingan. Beberapa lama kemudian, ada prang yang tidak senang
terhadap I Gusti Agung Anom. Salah satunya adalah I Gusti Ngurah
Batutumpeng yang menguasai daerah Kekeran. Oleh karena memang ada
benih-benih permusuhan, maka sedikit saja ada masalah akan menjadi
besar. Begitulah yang terjadi. Oleh karena sesuatu hat, maka terjadilah
perkelahian antara I Gusti Agung Putu dan I Gusti Batutumpeng dengan
para pengikutnya. Dalam peperangan itu, I Gusti Agung Putu kepayahan
akibat dikeroyok. Agung Putu lalu jatuh di tanah tiada sadarkan diri.
Rakyat Kekeran yang melihat keadaan I Gusti Agung Putu demikian, mengira
sudah tewas. Pada saat itulah datang Ki Kedua dari Desa Kapal yang
serta merta memberi pertolongan menutupi tubuh I Gusti Agung Putu dengan
daun Liligundi. Ki Kedua memang mempunyai hubungan kwangi dengan I
Gusti Agung Putu dari perkawinan kakeknya asal Badung. Mengetahui hat
ini dengan cepat I Gusti Agung Putu menitipkan keria pusakanya yang
bernama I
Panglipur agar diaembunyikan Ki Kedua. I
Gusti Agung Putu berpesan bahwa keria pusaka itu dilarang diberikan
kepada siapapun kecuali diminta Iangsung oleh beliau sendiri.
Dalam keadaan tersiksa, I Gusti Agung
Putu dihaturkan oleh 1 Gusti Ngurah Batutumpeng ke hadapan Raja Tabanan.
Sementara itu di Puri Tabanan, raja sedang menerima.1 Gusti Gede
Bebalang dari Puri Marga. Setelah melihat keadaan I Gusti Agung Putu
yang menderita. Gede Bebalang merasa kasihan. Lalu ia memohon ke hadapan
Raja Tabanan agar diperkenankan meminta I Gusti Agung Putu untuk diajak
ke Puri Marga agar dapat menemani adiknya yang bernama I Gust] Nyoman
Celuk. Raja Tabanan mengabulkan permintaan itu. Tapi pesan raja, agar
berhati-hati karena I Gusti Agung Putu dianggap sangat berbahaya ibarat
“panak macan” (anak harimau). Walaupun demikian I Gusti Gede Bebalang
tetap meminta karena kasihan melihat keadaan I Gusti Agung Putu
tersiksa. Berselang beberapa bulan kemudian, I Gusti Agung Putu dengan
diaertai I Gusti Celuk dan 200 orang, minta izin kepada I Gusti Gede
Bebalang akan merabas hutan di sebelah selatan Desa Marga untuk
perumahan rakyat dan purl. Kawasan dan purl itu kemudian diberi nama
Bala Ayu. Lambat laun, kata Bala Ayu kemudian menjadi Belayu.
Menghimpun Kekuatan
Lambat namun pasti, I Gusti Agung Putu
mulai menghimpun kekuatannya kembali dari Desa Belayu. Beliau juga
membentuk satuan-satuan pemuda pilihan sebanyak 40 orang yang terlatih.
Tujuannya, yakni menyerang kembali I Gusti Ngurah Batutumpeng. Pada hari
yang ditentukan, saat yang dianggap tepat, I Gusti Agung Putu berangkat
bersama Anglurth Weratmara, I Gusti Celuk dan rakyat dengan
persenjataan seadanya menyerang I Gusti Ngurah Batutumpeng.
Dalam pertempuran yang seru, I Gusti
Ngurah Batutumpeng herhasil dibunuh. Sanak keluarganya yang masih hidup
melarikan diri menuju Desa Kerambitan. Setelah I Gusti Ngurah
Batutumpeng gugur, daerah Kekeran menjadi kekuasaan I Gusti Agung Putu
lagi.
Sebelumnya I Gusti Ngurah Pupuan, I
Gusti Ngurah Beringkit, dan I Gusti Ngurah Penarungan menaklukkan diri
menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Batutumpeng. Dengan demikian,
maka wilayahnya kini otomatia menjadi wilayah di bawah kekuasaan I Gusti
Agung Putu. Dalam periode ini, I Gusti Agung Putu melakukan musyawarah
dengan I Gusti Nyoman Celuk dari Puri Marga. Agung Putu mohon pamitan
dari Belayu untuk pindah ke wilayah bekas kekuasaan Gusti Ngurah Mengwi.
Beliau lalu beserta keluarganya membangun Puri di Bekak yang diaebut
Keraton Puri Kaleran. Selanjutnya beliau membuat tetamanan yang
berlokasi di sebelah barat Puri Bekak yang dinamakan Taman Ganter. Kata
Ganter di sini diberi anti “yang sungguh menakjubkan” atau “mempesona”.
Keraton Puri Kaleran dibangun pada tahun 1627 Masehi/lcaka
1549. Semenjak itulah I Gusti Agung Putu
memanfaatkan Taman Ganter sebagai tempat untuk mencuci senjata-senjata
Pusaka Puri. Taman Ganter dipelihara dengan baik untuk melengkapi
keindahan
Keraton Puri.
Adapun Ki Kedua (I Gusti Made Serangan)
dititahkan pindah dari Kapal. Beliau membuat rumah berdekatan dengan
Puri Kaleran yang diberi nama Jeroan Serangan. Kakak perempuannya yang
bernama Ni Alangkajeng dijadikan iatri oleh I Gusti Agung Putu.
Beberapa lama kemudian, tenjadi perang
tanding antara I Gusti Agung Putu melawan Pasek Badak yang menguasai
Desa Buduk. Pasek Badak terkenal sakti dan tidak mempan berbagai
senjata. Namun dalam perang tanding itu, Pasek Badak harus menyerah
setelah melihat Pedang Pusaka I Naga Keras. Sebelum Pasek Badak
menghembuskan napasnya terakhir, ia minta agar ada salah seorang putra I
Gusti Agung Putu menyembah arwah Ki Pasek Badak kelak dikemudian hari. I
Gusti Putu mengabulkan permintaan itu. Namun putra yang akan
menyembahnya tidak keturunan asli, melainkan putra yang diangkat dengan
upacara. Dalam cerita yang dipentaskan oleh Topeng Primbon Carangsari
(Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia, orang yang diangkat sebagai
putra itu berjumlah 40 orang. Mereka itu dari keturunan Brahmana 10,
Kesatria 10 orang, Wesia 10 orang dan Sudra 10 orang. Mereka itu juga
akan menjadi tabeng wijang (penjaga) puri yang kebal dengan
senjata tajam. Setelah Pasek Badak gugur, ia dibuatkan sebuah Gedong
Sari Meru tumpang satu serta diempon oleh 40 orang putra angkat dari
catur warna yang selanjutnya dianugrahi nama Ki Baladika Batabatu.
Selanjutnya setelah Penebel dikuasai oleh I Gusti Agung Putu, beliau
meluaskan lagi wilayahnya ke bagian timur. Di bawah pimpinan I Gusti
Gede Bebalang beserta adiknya I Gusti Nyoman Celuk dari Belayu, mereka
menyerang serta menguasai wilayah I Gusti Agung Sukawati, I Gusti Agung
Cau dan Gusti Agung Ketut Agung di Goam. Dengan demikian batas kekuatan
Mengwi sampai sebelah barat Petanu, batas selatan Uluwatu dan batas
utara Gunung Mangu/Beratan yang juga diaebut Gunung Pengelengan.
Beberapa lama kemudian, I Gusti Bebalang
melaporkan bahwa yang berkuasa di Ler Gunung amat berwibawa, bergelar I
Gusti Ngurah Panji Sakti. Beliau mempunyai putra bernama I Gusti Panji
Wayahan. Merasa berwibawa yang diaegani baik kawan maupun lawan. I Gusti
Panji Wayahan, telah berani menyabot daerah kekuasaan I Gusti Agung
Putu di Pegunungan Utara. Apa lagi ia merasa sangat kuat dengan memiliki
perwira-perwira tet•una yang diaebut Guwak sebanyak 100 orang. Para
perwira itu sudah tersohor ketangguhannya dalam peperangan yang dipimpin
oleh Ki Macan Gading.
Maka atas laporan tersehut I Gusti Agung
Putu menitahkan untuk menyerang Kerajaan Buleleng. sekaligus menguji
ketangguhan Ki Batabatu. Penyerbuan itu dipimpin oleh Gusti Bebalang.
Scdangkan penyerangan dari Desa Gitgit dipimpin oleh I Gusti Celuk.
Sementara itu I Gusti Agung Putu yang juga dijuluki I Gusti Agung Sakti
membantu dari belakang.
Penyerbuan itu cukup menakjubkan. I Gusti Panji Wayahan kewalahan menghadapi pasukan Trio ini. la
lalu melapor kepada Ayahnda Raja Buleleng yang herkedudukan di Puri
Sukasada. Mendengar laporan itu. Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji
Sakti mengatur strategi, yaitu berpura-pura tidak mengetahui bahwa
dirinya diaerang oleh Mengwi. Bahkan sebaliknya ia menurunkan
gadia-gadia cantik dan masing-masing membawa setangkai bunga untuk
menjemput kedatangan I Gusti Agung Putu sebagaimana halnya menjemput
raja agung.
Oleh karena diperlakuan seperti itu, I
Gusti Agung Putu menjadi sangat gembira. Bahkan beliau lupa dengan
rencana penyerbuan semula. Sikap beliau berubah: dari permusuhan menjadi
persaudaraan. Lebih-lebih beliau dipersembahkan hadiah, yakni seorang
gadia cantik. Gadia itu bukan dari keturunan sembarang, melainkan putri
Raja Buleleng sendiri yang bernama I Gusti Ayu Panji. I Gusti Ayu Panji
pun diboyong ke Keraton Puri Mengwi.
Dalam perjalananan ini, I Gusti Ayu
Panji diiringi oleh 225 orang dari berbagai keturunan wangsa yang
menjadi prajurit andalan Buleleng. Selain itu, I Gusti Ayu Panji membawa
wilayah kekuasaan Raja Buleleng yang dihadiahkan kepada I Gusti Agung
Putu antara lain wilayah kekuasaan di Blambangan Jawa Timur, dan wilayah
Jembrana.
Upacara perkawinan dilangsungkan di Puri
Kaleran Mengwi dengan meriah. Dalam menjalankan pemerintahan, I Gusti
Agung Putu menyusun strategi penyebaran putra-putranya yang dibantu oleh
para manca (setingkat camat) yang dapat dipercaya. Putranya
yakni I Gusti Agung Made Banyuning, yang beribu I Gusti Ayu Toya Anyar
(keturunan Gajah Para) dititahkan memegang wilayah Sayan. I Gusti Agung
Kamasan diberi kekuasaan memegang wilayah Sibang Serijati. Untuk wilayah
Munggu, pemerintahan diaerahkan kepada I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng.
Untuk wilayah bagian tengah dari timur
ke utara, pemerintahan dipercayakan kepada I Gusti Agung Putu Pacung di
Singasari Blahkiuh. Sedangkan wilayah Penarungan diaerahkan kepada I
Gusti Agung Wayahan. Lalu, I Gusti Agung Ketut Buleleng diberi kekuasaan
untuk memerintah Kapal Muncan. Adapun I Gusti Agung Lebah diberi
kekuasaan di Kapal Kanginan.
Pada masa periode ini, I Gusti Agung
Putu berhasil menewaskan Ki Balian Batur yang diutus oleh Betari di
Batur. Ki Balian Batur diutus untuk menggagalkan hasrat Mengwi menyerang
Klungkung. Sebagai tanda kemenangan ini, I Gusti Agung Putu lalu
membuat pura di Desa Rangkan yang diberi nama Pura Uriakusuma. Pada
sebelah timur pura itu dibangun puri, dinamakan Puri Kanginan. Oleh
karena pura itu letaknya berdampingan dengan puri, namanya kemudian
diganti bemama Pura Penataran Dalem Agung. Sewaktu upacara di pura ini,
Sri Maha Sirikan, diiringi oleh Natheng Mangapura, para manca, punggawa dan rakyat, melakukan
persembahyangan bersama.
Hubungan Bhagawanta dengan Mengwiraja
I Gusti Agung Maruti waktu berada di
Kuramas Gianyar, memohon ke hadapan Brahmana Geria Sindhu dan Pidada
Sidemen Karangasem agar mengizinkan salah satu keturunannya sebagai
patirtan beliau beserta keturunannya. Dalam keputusan pangliair di Geria
Sindhu dan Pidada Karangasem, Ida Putu Sidemen yang mebhiaeka Ida
Pedanda Kompiyang Pemaron kelahiran Geria Mandharawati Sidemen
ditugaskan untuk berangkat dan agar menetap di mana adanya keturunan I
Gusti Agung Maruti. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah sentana Ida
Diata mabhiaeka Ida Pedanda Wayahan Kekeran kelahiran Geria Rai
Kaba-Kaba. Ketika masih walaka minggat ke Desa Sidemen dan membangun
Geria Mandharawati Sidemen. Ida Pedanda Kompiyang Pemaron adalah cucu
dari Ida Pedanda Wayahan Kekeran dan bersaudara kandung Ida Pedanda
Kawiaunia yang membangun Geria Kawiaunia Kaba-Kaba.
Setelah tatap muka dengan I Gusti Agung
Putu. Ida Pedanda Kompyang Pemaron dihaturkan tempat pasraman di Desa
Munggu yang diaebut Geria Sidemen. Semenjak itulah Brahmana Geria
Sidemen Munggu merupakan penasihat spiritual dan keagamaan Kerajaan
Mengwi Raja. Namun belum ditetapkan secara resmi sebagai bagavanta
karena I Gusti Agung Putu belum melaksanakan upacara
Mapodgala Raja.
Membangun Taman Ayun
Semenjak perkawinan I Gusti Agung Putu
dengan putri raja Buleleng I Gusti Ayu Panji, Keraton Puri Kaleran
dipindahkan lokasinya yakni bergeser ke Selatan Puri Kaleran yang diberi
nama Keraton Puri Kawiyapura. Selanjutnya I Gusti Agung Putu beserta
keluarga menetap di Puri Kawiyapura yang juga berdekatan dengan Taman
Ganter. Oleh karena itu Taman Ganter tetap ditata dan diperindah agar
kelihatan sebagai Hyang Hyangning ukir nan indah.
Adapun pemindahan puri itu adalah atas
petunjuk dan saran-saran Ida Pedanda Gede Kekeran (Geria Kekeran Mengwi
Tani) bersama Ida Pedanda Kompyang Pemaron (Geria Sidemen Munggu).
Mengapa dipindahkan, karena di Puri Kaleran pernah adanya ceceran darah
Pasek Badak waktu perang tanding dengan I Gusti Agung Putu. Adanya
ceceran darah itu menimbulkan vibrasi buruk yang diaebut Kecamahan dan Kelebon Amuk. Keadaan seperti itu, tidak baik bagi keturunan yang menempatinya, karena biaa memakan korban secara berkesinambungan.
Setelah I Gusti Agung Putu merenungkan
petuah-petuah itu. beliau mendapat inspirasi baru. Beliau memilih suatu
tempat yang dipandang memenuhhi syarat untuk membangun sebuah taman yang
Iebih luas dan strategia letaknya. Pembangunan tetanaman yang lebih
luas berlokasi di atas dataran yang agak tinggi, yang kemudian dinamakan
Taman Ayun. Taman berarti kolam atau kebun bunga dan avun berarti
kehendak atau indah. Dengan demikian. Taman Ayun berarti taman yang
indah atau taman yang dapat memberikan apa yang dikehendaki sebagai
pembangkit rasa keindahan.
Pura Taman Ganter dipindah ke Pura Taman
Ayun pada tahun 1413 M. Menurut Babad Mengwi Pura Taman Ayun dibuat
oleh I Gusti Agung Putu pada tahun 1632 M dan selesai/dipelapas pada
tahun 1634 M, termuat dalam Babad Mengwi dengan Candra Sengkala “sad
bhuta Yak sa Dewa” yang nilai angkanya 1566 atau 1634 M.
Adapun sebagai arsitek pembangunan Pura
Taman Ayun dibuat oleh rekan beliau yakni seorang Cina dari Banyuwangi
yang bernama Ing Khang Ghhoew. Arsitek ini juga Iumrah dipanggil I Kaco.
Struktur Pura
Struktur Pura Taman Ayun terdiri dari Utama Mandala Gedong Pedarman Puri dan dilengkapi dengan Iata Dewata lainnya sebagai persimpangan atau Penvawangan dari
beberapa Pura Kahyangan Jagat di Bali termasuk pembangunan untuk memuja
Ida DanaHyang Dwijendra yang lebih dikenal di Bali Ida Pedanda Saktu
Wawu Rauh. Untuk memuja para leluhur raja, kita biaa melakukan di Gedong
Pedarman Paibon. Pada bagian Madya dan Niata Mandala dibangun candi
bentar atau diaebut Apt Surang sedangkan pada Utama Mandala dilengkapi
dengan sebuah Kori Agung diaebut Paduraksa.
Raja I Kerajaan Mengwi, Mangarajia, Mangapura, Kawiyapura
Setelah Pura Taman Ayun rampung dan diplaspas (diaucikan),
maka atas kehendak rakyat Mangarajia menetapkan I Gusti Agung Putu
menjadi raja yang pertama di Kerajaan Mengwi sebagai mangkuta dengan
terlebih dahulu melaksanakan upacara Mapodgala sesuai swadarmaning negara
kerajaan. Untuk mencapai tujuan itu I Gusti Agung Putu mengadakan
paruman yang dihadiri oleh segenap warga purl, para walaka dan sulinggih
serta para manggala kerajaan. Paruman dipimpin oleh Ida Pedanda
Kompyang Pemaron dari Geria Sideman Munggu. Di dalam pertemuan itu, Ida
Pedanda memperkenalkan diri hahwa beliau adalah brahmana dari Geria
Mandarawati Sidemen, Karangasem dan kini berada di Geria Sidemen Munggu
untuk mendampingi Raja Mengwi. Dalam paruman itu ada brahmana dari Batan
Poh Buduk tidak hadir karena ajajuden (tajen) sehingga oleh paruman diputuskan untuk dipersonagratakan dari sidikara sesana kebrahmanan dan dianggap tidak patuh terhadap kehendak Raja Mengwi. Paruman juga memutuskan menetapkan I Gusti Agung Putu melakukan upacara mapodgala bertempat
di Pura Taman Ayun dengan kedudukan Raja I di Keraton Puri Kawiyapura.
Karena berdekatan dengan Pura Bekak yang baru diaebut Pun Bekak, upacara
inapodgala dilakukan bertempat di Pura Taman Ayun. Upacara dipuput oleh sang para guru loka sewilayah Mangarajia sebagai wikusaksi. Sebagai
pimpinan upacara adalah Ida Pedanda Gede Kekeran Geria Kekeran Mengwi
Tani dan Ida Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu. Ida Pedanda
Gede Alangkajeng Geria Taman Intaran Sanur juga merupakan menantu dari I
Gusti Agung Putu, dan masih satu lalintian (keluarga) dengan brahmana Munggu.
Setelah melaksanakan upacara mapodgala, secara
resmi I Gusti Agung Putu berganti nama menjadi I Gusti Ngurah Made
Agung alias I Gusti Agung Ngurah Made Agung alias I Gusti Agung Sakti,
dengan bhiaeka Ida Tjokorde Sakti Blambangan. Semenjak itu pula secara
resmi Ida Tjokorde Sakti Blambangan mengangkat serta menetapkan dua bhagawanta (penasihat
spiritual iatana) yaitu Ida Pedanda Gede Kekeran Mengwitani dan Ida
Pedanda Kompyang Pemaron Geria Sidemen Munggu yang merupakan bhagawanta I Kerajaan Mengwi.
Adapun leluhur Ida Pedanda Gede Kekeran
adalah dari Kayu Putih Buleleng turut datang dan menetap di Mengwi waktu
mengikuti perkawinan I Gusti Ayu Panji. Oleh Raja I Ida Tjokorda Sakti
Blambangan leluhur beliau ditempatkan di Kekeran Mengwitani, Werdi
Sentana Mangun Geria Den Kayu, Geria Bun, Geria Lanang dan Geria Kekeran
Blahbatuh Gianyar.
Pura Taman Ayun bersifat geneologia atau pemujaan terhadap leluhur. Namun pura ini dilengkapi periimpangan beberapa
pura besar di Bali. Artinya kalau memuja Tuhan dalam berbagai
manifestasinya yang berstana di sejumlah pura di Bali, biaa dilakukan di
tempat ini.
Mengapa pura ini dibangun? Menurut
sumber, tujuan raja Cokorda Sakti Blambangan mendirikan parahyangan di
Taman Ayun adalah agar seluruh keluarga kerajaan beserta rakyat
sewilayah Mengwi dapat menghaturkan persembahyangan, memohon restu untuk
keselamatan serta kesejahteraan. Keberadaan pura ini erat kaitannya
dengan berdirinya kerajaan Mengwi pada tahun 1627 masehi atau 1549 caka.
Jalan Khusus
Untuk mengetahui keberadaan fiaik
bangunan pura, para turia dibuatkan jalan khusus mengelilingi areal
utama mandala. Pura ini dikelilingi kolam besar, sehingga dari kejauhan,
pura ini seolah-olah terapung. Areal pura ini luasnya mencapai empat
hektar, ditumbuhi berbagai macam bunga dan pohon buah-buahan. Memang,
dulu pura ini merupakan pertamanan tempat beriatirahat.
Pura ini sempat mengalami kerusakan
akibat terjadi gempa besar pada Sabtu, 20 Januari 1917. Banyak bangunan
yang rusak parah (Ian ringan. Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat
perbaikan secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang
terlihat sekarang.
Piodalan atau pujawali di pura ini jatuh
pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia, setiap 210 hari sekali. Pengemponnya
adalah keluarga Puri Gede Mengwi. Seperti telah dikemukakan, pura ini
pada dasarnya pura paibon atau pedarman keluarga Raja Mengwi untuk memuja para roh leluhur yang diwujudkan dengan dibangunnya sebuah gedong paibon. Namun, di pura ini terdapat sejumlah pelinggih pesimpangan pura-pura besar di Bali seperti Pesimpangan Batukaru (meru tumpang 11), Pesimpangan Sakenan (meru tumpang 11), pelinggih Pura Pucak Padangdawa, pelinggih untuk memuja Ida Dang Hyang Dwijendra.
Di sana juga berdiri candi Pura Sada, Pesimpangan Batur (meru tumpang 9), pesimpangan Gunung Agung (meru tumpang 11), Pesimpangan Beratan (meru tumpang 9), Pesimpangan Maspahit (meru tumpang 7), Pesimpangan Batuangus (meru tumpang 5), Pesimpangan Pesurungan (meru tumpang 3). Di samping itu juga terdapat pelinggih Pasek Badak yang diaungsung oleh segenap bala putra teruna bata-batu (prajurit kerajaan).
Tentang Pasek Badak, kiaahnya cukup
menarik ketika dipentaskan dalam dramatari Topeng Perimbon oleh Topeng
Carangsari (Badung) pimpinan I Gusti Ngurah Windia.
Ada satu cerita menuturkan, Pasek Badak
diundang oleh raja Mengwi untuk datang ke puri. Setelah berbasa-basi
sebentar, ternyata Pasek Badak diundang mengadu laga, karena raja Mengwi
ingin memperluas wilayah sampai ke Buduk, tempat Pasek Badak berkuasa.
Akan tetapi raja Mengwi tak mampu membunuh Pasek Badak dengan berbagai
senjata. Namun ada satu senjata sakti, milik kerajaan yang menyebabkan
Pasek Badak menyerah yakni senjata bernama Naga Keras. Pasek Badak rela
gugur dengan sejata itu, karena ia yakin akan mendapat moksha berkat
pusaka itu. Akan tetapi, ada permintaan Pasek Badak kepada raja, yakni,
agar pelinggihnya itu diaungsung oleh putra raja. Raja kemudian
mengangkat 40 orang sebagai putra peperasan (anak angkat) yang
terdiri dari empat golongan: yakni Brahmana, Kesatria. Wesia dan Sudra,
masing-rnasing 10 orang. Semua penyungsung itu kemudian akan menjadi
kebal dan menjadi tabeng wijang (prajurit) kerajaan Mengwi.
Bangunan lainnya yang juga terdapat di
sana adalah Bale Murda. Gedong Pengangge, Gedong Sari Bhatara Tengah
Segara, padmasana Bhatara Surya, Bale Pawedan, Bale Papelik Saka Anda,
Gedong Alit Pura Bekak, piyasan, sambiangan dan sebagainya.
Di utama mandala dibangun kori agung (paduraksa). Di tnadva mandala dan viata mandala dibangun candi bentar atau apit surang. Pada siai baratnya terdapat permandian umum dan di bagian atasnya terdapat Museum Manusa Yadnya/Pitra Yadnya. Pada madya mandala terdapat
bangunan yang menarik yaitu sebuah Balai Pelik yang dihiasi dengan arca
Dewata Nawa Sanga, simbolia dari sembilan Dewa penjaga penjuru dunia.
Pada niata mandala terdapat kompleks pura kecil yang bernama Pura Luhur.
Di sarnping itu terdapat pula kolam kecil beriai air mancur, dan
bangunan wantilan di arah tenggara.
Tujuan Pembangunan Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun, tergolong Pura Pusat
Kerajaan di mana inti pemujaan bersifat genialogia atau pemujaan
terhadap leluhur yang dilengkapi pula persimpangan-persimpangan dari
beberapa pura gunung dan Aura laut. Tujuan Raja I Tjokorde Sakti
Blambangan mendirikan perhyangan di Taman Ayun adalah agar seluruh
keluarga kerajaan beserta rakyat sewilayah Mengwi dapat sembahyang serta
memohon restu untuk kesejahteraan kerajaan. Selain itu untuk memberikan
kesempatan bagi seluruh rakyat Kerajaan Mengwi, mengingat pura
kahyangan jagat di Bali sangat jauh dan medannya sangat sulit ditempuh
serta melewati wilayah kekuasaan lain.’ Dan setiap ada karya utarna di
Taman Ayun, Ida Tjokorde Sakti Blambangan selalu melibatkan semua sang
guru loka (pandita) sewilayah Kerajaan Mengwi baik sebagai wiku saksi
maupun sebagai bhagawanta Kerajaan.
Pada masa itu, salah seorang keturunan
Sang Aji Saka bernama Ki Batuangsut yang tinggal di Lembah Gunung Batur,
setelah berada di wilayah Kerajaan Mengwi dan menetap di tanah suci
Mambal menghadap Raja Mengwi. Ki Batuangsut menerima wahyu agar ia
melaporkan ke hadapan Raja Mengwi, bahwa Ida Bhatara di Gunung Batur
akan menurunkan hujan lebat serta banjir besar sehingga menyebabkan air
Sungai Ayu (Tukad Ayung-bahasa Bali) meluap.Banjir besar itu akan
menghanyutkan batu-batu besar dan kecil. Di mana batu-batu itu
berkumpul, di situlah Ida Bhatara di Batur menghendaki dibuatkan
Palinggih Pesimpangan. Diberitakan beberapa bulan kemudian, turun hujan
diaertai angin kencang, siang-malam tidak henti-hentinya menyebabkan
Sungai Ayu banjir besar. Sebagaimana sabda Bhatara Danu, tiada terhitung
banyaknya batu besar dan kecil berkumpul di tepi sungai pada lingkungan
Tegal Suci di Desa Mambal. Raja Mengwi lalu menitahkan rakyat Mambal,
Semana, dan Lambing membuat pura untuk pemujaan Bhatari Danu Batur. Pura
itu kemudian dinamakan Kahyangan Penataran Agung Hening, diplaspas pada
tahun Icaka 1565 (1643 M). Jero Gede Batuangsut kemudian din,obatkan
sebagai pemangkunya hingga keturunannya kelak.
Putra Raja I yang bernama I Gusti Agung
Ratu Panji menghadap ayahandanya di Mangarajia. I Gusti Agung mohon
restu akan berperang melawan I Dewa Anom Sukawati. I Gusti Agung
menyatakan perang, karena betapa kecewanya, ketika I Dewa Anom Sukawati
menyerahkan Tjokorde Iatri Kaler dipersunting oleh I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng. Sebenarnya Raja Mengwi telah menasihati putranya agar
mengurungkan niatnya. Namun I Gusti Agung Ratu Panji sangat sakti, tidak
mempan oleh senjata tajam. Kerana merasa sakti itulah, ia tidak
menghiraukan nasihat ayahnya. Akhirnya kekalahan pun diderita. I Gusti
Agung berhasil ditawan. Kemaluannya dihancurkan (dekdek-bahasa Bali)
karena ditumbuk oleh pihak lawan bertempat di sebelah timur Desa Bun
(Sedang). Di tempat beliau ditawan ini, kemudian dihangunlah peringatan
yang diaebut Pura Pedekdekan. Jenazah I Gusti Agung sempat diaemayamkan
di Tegal Sibang dan ditempat ini dibangun peringatan yang diaebut Pura
Gede di Tegal Sibang.
Jenazah I Gusti Agung lalu diusung ke
Mangarajia. Seiai iatana menangiai jenazahnya. Sebagai tanda bhakti dan
penghormatan rakyat Mangarajia, almarhum diberi julukan Batara Mantuk
Ring Pedekdekan. Dan arwah beliau diiatanakan pada sebuah pelinggih di
Pura Sada Kapal yang diaebut Pelinggih Betara Panji Lumahing Pedekdekan
alias Batara Jayeng Rat.
Periatiwa yang mengenaskan itu sempat
diaesalkan oleh kakeknya yaitu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti,
karena putra I Gusti Ayu Panji itu diharapkan nantinya dapat
menggantikan ayahandanya menjadi Raja 11 Kerajaan Mengwi. Akan tetapi
Hyang Parama Kawi menghendaki lain. Pada masa kekuasaan Raja III Gusti
Agung Nyoman Alangkajeng alias Tjokorde Nyoman Alangkajeng pada tahun
Icaka 1616 atau 1694 M, Keraton Puri Kawiyapura di Bekak dipindahkan
lagi ke arah timur agar berdekatan dengan Pura Taman Ayun bertempat di bencingah yang diaebut Puri Agung sampai sekarang.
Pada tahun 1937, Pura Taman Ayun mendapat perbaikan pura secara besar-besaran sehingga nampak seperti bentuk yang terlihat
Langganan:
Postingan (Atom)